Baru-baru ini saya masuk grup WA, yang dari sebaran terbaca grup kepenulisan. Saya masuk ke sana via undangan terbuka. Kenapa saya masuk? Karena dengan masuk saya ingin tahu sirkel, gimana sih aktivitas yang suka menulis itu.
Seorang penulis pernah menasehati, saya ini jangakauan pergaulannya kurang jauh. Ini berpengaruh ke karakterisitik karya saya, maka selagi bisa bergabunglah ke kumpulan yang membantu kualitas diri. Tentu saja diri saya, bukan kamu. Yaps, kamu yang sedang membaca tulisan ini.
Masuk saya ke grup Icip, begitulah saya menyebut. Ternyata, aktif juga itu grup. Cuma sebagai pendatang baru saya merasa tersasar, karena sekian banyak baik admin pun sesepuh tak menganggap saya ada. Padahal saya bukan siluman, bukan makhluk dari luar angkasa yang tengah mencari sumbangan.
Saya berupaya menunjukkan eksistensi di sana, menulislah di sana. Lucunya, kalau yang lain tulisannya cepat benar di respon, ditanggapi dan dinilai. Lah tulisan saya, jangankan di komentari dianggap ada saja mungkin entah.
Saya bahkan ikutan sok asyik di sana, mengomentari tulisan senior yang katanya ingin menerbitkan buku, baik antologi maupun sendiri karyanya doang. Dia berpikir itu seperti hal yang wah, seumpama rumahnya di datangi Pak Prabowo dan diajak dia diskusi soal diberhentikan STY, karena apa dan alasannya apa.
Padahal menerbitkan buku itu di era sekarang, ya biasa saja. Selama kamu punya karya dan punya dana cukup, tinggal datang saja ke penerbit atau mengirim via WA atau e-mail, apanya special.
Kecuali, karyamu luar biasa atau kamu luar biasa walau pun gak istimewa. Moncer-lah karyamu. Kalau orang biasa dengan tulisan biasa, apa coba istimewanya? Paling jadi koleksi perpus mungil di rumah kamu atau sedekah ke teman, semoga saja dia bilang, "wah, karyamu bagus, ya?"
Terus, dengan senyum pepsodent kamu bilang, "sudah open order nih, silahkan japri ya," eh kabur tuh orang. Karena kamu terlanjur dipuji, "Nih ambil saja bukunya, lumayan buat menambah koleksi buku di rumahmu," dia pun menerimanya dengan setengah hati. Sebab hatinya sudah terbang ke merek hape yang bakal dia kredit minggu depan.
Tentu saja itu tidak sampaikan ke dia, pertama saya tidak kenal dan gak mau kenalan, dan dia gak mungkin mau mendengarkan kabar buruk dari saya itu. Baginya, karya adalah karya selalu bagus untuk penulisnya dan belum tentu untuk pembencinya.
Any way, heran saya dengan grup begitu. Pertama, kalau memang mau jadi grup keluarga atau sekelompok spesies saja, tak usah share dan belaga menjaring anggota baru secara terbuka. Apa coba untungnya coba, orang berbondong datang pengen belajar pas masuk jadi penonton yang sok imut. Hiks!
Kedua, belajarlah sejarah kebangsaan agar kita tahu, bagaimana memahami proses. Setiap tempe atau tahu yang kita makan, itu ada proses bersama para pekerja yang kerja untuk menghasillkan produk unggul: enak Anda makan dan enak diperut.
Apa sinkronisasi-nya? Ya, kagak ada sih. Intinya, komunitas itu seharusnya jadi wadah terbuka untuk anak bangsa belajar bersama dan bersama belajar. Meningkatkan keterampilan untuk mengurangi kejumudan "bahwa saya saja yang pintar" tapi harus pada "semua harus pintar". Jangan sampai, manis peraturannya tapi pahit dalamnya.
Pandeglang, 22 Januari 2025 Â 18.10
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI