Namaku Nafsu. Dan sekarang, aku ingin curhat di sini. Cuap-cuap buat kalian yang merasa suci dan benar sendiri. - Nafsu.
Sebenarnya aku malas berincang-bincang gini, kok aku macam di talk show, yang bagiku pekerjaan yang membuang-buang waktu. Lebih baik waktu dibuat untuk menjerumuskan manusia pada kubangan kotoran daripada memberi edukasi semu begini. Namun, tak apalah, malam ini, aku yang dinamakan Nafsu akan coba blak-blakan padamu, yang membaca tulisan recehan ini. Semoga saja jadi amal baik di antara amalku yang legam semua.
Kasus Pertama
Orang mengenalnya orang berilmu, ganteng dan cerdas. Ngustad lah kata orang NU mah. Dicintai banyak orang karena ia jadi penyuluh ilmu. Intinya, soal dia baik dan sempurna. Kamu tak akan curiga ia orang yang ... mesum. Mungkin bakal membantah omongan receh ini, tapi terserah, bagiku mau percaya atau tidak tak penting.
Ternyata, di balik saleh dia itu kedok. Aslinya dia hanya laki-laki lemah oleh gejolak hati dan syahwatnya. Di sanalah aku masuk. Di saat sendiri dan lagi mood, aku goda dia dengan pikiran mesum. Ya, walau awalnya susah. Susah menggoda orang yang tahu ilmu itu, karena aku harus berdebat secara paripurna. Sidang DPR kali! Hihi.
Debat terus menerus sampai dia bertepuk lutut. Dan akhirnya, diam-diam mencari pembenaran dengan melihat situs-situs porno. Ah, cara termudah melumpuhkan pikiran laki-laki dengan selangkangan. Buat dia berkayal sampai di mana tangan dan badannya seirama. Di mana-mana semua laki-laki doyan selangkangan, omong kosong dia suci dari semua pikiran tersebut.
Cepat atau lambat godaan itu berhasil. Diam-diam saat sendiri atau siang lagi menyendiri dia buka situs lewat hapenya, dan di sana dia buka koleksi vulgar itu. Tubuh wanita ia telanjangi dan dia pelototi. Lupa dia ayat suci, tak mau ia merenungi keindahan ayat suci. Tidurnya dipeluk syahwat bersama iblis laknat teman karibku.
Bahkan laki-laki seusianya lebih maniak. Tidak hanya melihat tapi mempraktikan pada lubang-lubang yang menentramkan nafsunya dan menjungkalkan iman di dadanya. Melihat itu, aku tertawa, dan berteriak: Yes, aku berhasil!
Kasus Kedua
Dia akhwat cantik, manis dan solehah. Sempurna di pandangan orang. Lahir di lingkungan islami pula. Siapa nyana, dia hanya wanita biasa. Di balik kesempurnaan itu, aku tak habis pekerjaan bagaimana melumpuhkan gejolak jiwanya. Meski pun harus berdebat-debat sampai berjilid-jilid. Tapi aku tahu, wanita akan lemah oleh rayuan manis, harta yang bombastis dan keindahan-keindahan yang ditampakkan manis. Di sana aku bermain.