Merah itu motor. Meski pun begitu tak sekedar motor. Ada hal yang buat saya nyaman bersamanya. Dan ini secuil kisah bersamanya, tak seromantis sama si dia sih sedikitnya punya sejarah sendiri.
Sepulang mengantar si Abang ke Cikiray-- aktivitas rutin, di dekat kampung Berung, motor tetangga saya mogok. Ialah motor Bapak Oni. Mio lama keluaran 2007-an. Saya pun berhenti dan membantu sebisa saya, kemudian setelah di engkel beberap kali hidup.
Setelah hidup kemudian mati. Mungkin busi-nya sudah kotor katanya. Padahal mau diganti tapi gak keburu lanjutnya dengan senyum berat, saya menimpali ohh saja.
Tak ada bantuan berarti yang saya lakukan selain diam dan melihat saya karena bapak Oni tak mengijinkan. Begipula dengan Mak Enah, isterinya. Wajahnya nampak gusar, mungkin aktivitas ke sawahnya terjeda, itu gara-gara motor tua. Apalagi matinya dekat kuburan sekali.
Saya menyarankan untuk dibersihkan karbu-nya. Yamaha memang begitu kata saya sebab motor saya pun si Merah Mio juga cuma agak muda 2 tahun dari bapak Oni. Dulu motor saya pun begitu sering ngadat tak kenal tempat.
Pernah pagi sebelum berangkat ke Pasar. Pernah siang menjelang sampai tempat usah. Pernah sore ketika mau pulang. Pernah malam juga saat di mana mau pulang motor itu menggeram menahan beban berat, terbatuk-batuk terus tanpa bersalah membiarkan saya cemas sendirian dipeluk kegelapan malam.
Atau pernah sepanjang pulang perburuan ilmu saya ke Serang, ia menggeram seperti harimau yang sakit gigi. Sepanjang pulang itu saya harap-harap cemas, semoga si Merah tidak kecentilan batuk terus pura-pura pingsan di tengah puluhan mobil juga motor. Betapa cemasnya nanti, untung tak terjadi.
Setia banget sama itu motor, begitu kata montir bengkel ke saya, saya hanya tersenyum, sama motor saja saya setia apalagi sama kekasih saya, tertawa sendiri di dalam hati. Ah, betapa suka duka saya dengan motor itu. Proses memilikinya pun tak kalah dramatis, jadi untuk melepasnya saya perlu bertapa dan meminta wangsit dulu, berat saya meninggalkan kenangan bersamanya.
Kadang saya berpikir, kenapa saya begitu sayang dengan motor itu, bukannya ia hanya benda saja. Sudah banyak yang menyarankan saya untuk menjual si Merah itu. Bahkan, sudah ada yang terang-terangan meminangnya ke saya, baik tuker atau tambah uang. Walau dia tak pernah main mata nakal pesonanya kadang bikin pengoleksi motor tua kedip-kedip manja. Saya bukan gak tahu, selama si Merah terjaga kesuciannya sih, saya mah pura-pura gak lihat.
Entah berapa puluh kali, dan berapa kali saya membawanya ke bengkel demi bengkel pun dealer. Entah berapa kali di operasi pun pernah momen mati suri karena harus operasi besar (baca: turun mesin), lebih tiga hari dia di opname. Si Merah nampak lesu di pojok bengkel, ditelanjangi dan aduk-aduk tubuhbya. Hebatnya dia tak menangis, ya karena dia motor bukan manusia.
Jadi bisa dikalkulasikan berapa juta habis selama kebersamaan saya dengan si Merah. Ingat betul betapa dulu ia yang masih gres terus buluk terus jadi korban kecelakaan, beta kurus dan lemahnya. Kini, sekalipun tak gres lagi tapi cukup cantik dipajang bersaing dengan jenis motor baru. Ya, dia punya pesona yang melekat di hati saya.