Mohon tunggu...
Mahyu Annafi
Mahyu Annafi Mohon Tunggu... Lainnya - Guru Ngaji

Hamba yang sedang belajar menulis, suka membaca dan menelaah berbagai pemikiran. Saya condong menulis ke dunia pendidikan, metal dan isu sosial. Angkatan ke 38 di Kelas Menulis Rumah Dunia (KMRD) di Serang. Sehari-hari berdagang dan menulis di blog.

Selanjutnya

Tutup

Love

Sore di Balai Budaya

24 November 2024   23:30 Diperbarui: 24 November 2024   23:44 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku tak tahu, apa yang akan aku katakan lewat surat ini. Surat untuk kekasihku yang entah seperti apa aslinya itu. Sebuah potret menyatu di jiwaku, tapi belum juga menyatu di kenyataanku.

Mungkin kamu bertanya, 'kenapa bisa jatuh dan cinta pada jiwa yang tak penah kau indra,' maka aku akan menjawab, 'jika cinta itu seperangkat aturan maka akan aku katakan padamu, ia pembelok sejati'.

Namun, baiklah. Aku katakan sejujurnya saja, biar jelas adanya.

Kami dgua manusia yang normal. Dua rasa menyatu dalam satu kata. Dua ingin dalam ingin sama. Dan begitu seterusnya. Suatu waktu, aku pergi ke Balai Budaya dekat alun-alun. Pusat kota kami, Pandeglang.

Di sana, saat aku asyik melihat pentas seni lokal---rutin di adakan sepekan sekali--ada laki-laki yang tiba-tiba menabakku. Aku kaget, kalau saja cepat menjaga keseimbangan mungkin mencium lantas di depanku. Mungkin, aku bakal jadi tontonan semua.

 "Hati-hati bos," orang di depanku nampak sebal ke laki-laki itu.

"Jalan hati-hati dong, loe kira di mana ini," laki-laki di sampingnya, mungkin teman atau kekasihnya.

"Maaf ya, kak, atas keceroboham saya keyamanan saya terganggu."

Dua orang tadi pergi tanpa berkata. Mereka pergi dengan segenggam kesal pada laki-laki di depannya.

"Kamu baik-baik saja," kataknya padaku.

"Aku, baik." Jawabku datar. Gimana baik, bahuku di terjangnya cukup kasar, di kata baik. Laki-laki apa sih dia. Gusarku di hati.

"Ya sudah kalau baik, silahkan pergi seperti mereka," katanya penuh keyakinan.

Aku jadi heran, kenapa dia bersikap aneh begitu. Harusnya meminta maaf kek, atau kek. Ini menyuruh aku pergi! Hello, laki-laki apa dikau. Tapi aku pendam sendiri. Tak aku ungkapkan. Aku gusar melihat sorot mata pengunjung lain yang melihat keributan tadi.

"Dasar laki-laki aneh!" 

Aku langsung melangkah menjauh dari wajah menyebalkan itu. Aku gakm mau mood-ku rusak gara-gara dia. Niatku ke sini untuk healing juga melihat gerai sendi di kotaku tercinta.

Anggap saja yang terjadi tadi seremoni atau pemanas. Atau apalah. Jadi aku memutuskan untuk ke alun-alun saja, katanya tak jauh di sana ada komunitas literasai sedang mengadakan dikskusi terbuka. Tema nya seputar gerakanan literasi di kota kami yang kurang menggigit.

Kenapa harus terbiuka, aku tidak tahu keanapa. Kenapa tdak di balai budaya tetapi di alun-alum, itu aku gak tahu juga.Seharusnya, soal seni budatya terkontrasi di sana. Ini kok beda.

"Literasi bukan tidak gerak, tapi sedang berproses."

"Apa maksudmu?' 

"Aku pikir daerah kita sunyi dengan gerakan literasi bukan karena pemerintah tak pduli. 

"Terus,"

Kita belum maksimal meluilan gerakan literasi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun