"Aku, baik." Jawabku datar. Gimana baik, bahuku di terjangnya cukup kasar, di kata baik. Laki-laki apa sih dia. Gusarku di hati.
"Ya sudah kalau baik, silahkan pergi seperti mereka," katanya penuh keyakinan.
Aku jadi heran, kenapa dia bersikap aneh begitu. Harusnya meminta maaf kek, atau kek. Ini menyuruh aku pergi! Hello, laki-laki apa dikau. Tapi aku pendam sendiri. Tak aku ungkapkan. Aku gusar melihat sorot mata pengunjung lain yang melihat keributan tadi.
"Dasar laki-laki aneh!"Â
Aku langsung melangkah menjauh dari wajah menyebalkan itu. Aku gakm mau mood-ku rusak gara-gara dia. Niatku ke sini untuk healing juga melihat gerai sendi di kotaku tercinta.
Anggap saja yang terjadi tadi seremoni atau pemanas. Atau apalah. Jadi aku memutuskan untuk ke alun-alun saja, katanya tak jauh di sana ada komunitas literasai sedang mengadakan dikskusi terbuka. Tema nya seputar gerakanan literasi di kota kami yang kurang menggigit.
Kenapa harus terbiuka, aku tidak tahu keanapa. Kenapa tdak di balai budaya tetapi di alun-alum, itu aku gak tahu juga.Seharusnya, soal seni budatya terkontrasi di sana. Ini kok beda.
"Literasi bukan tidak gerak, tapi sedang berproses."
"Apa maksudmu?'Â
"Aku pikir daerah kita sunyi dengan gerakan literasi bukan karena pemerintah tak pduli.Â
"Terus,"