Mohon tunggu...
Mahyu Annafi
Mahyu Annafi Mohon Tunggu... Lainnya - Guru Ngaji

Hamba yang sedang belajar menulis, suka membaca dan menelaah berbagai pemikiran. Saya condong menulis ke dunia pendidikan, metal dan isu sosial. Angkatan ke 38 di Kelas Menulis Rumah Dunia (KMRD) di Serang. Sehari-hari berdagang dan menulis di blog.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Siang yang Menyengat

26 Oktober 2024   23:06 Diperbarui: 27 Oktober 2024   01:02 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siang tadi Pandeglang seperti terlilit api. Suhu panas menunjukkan angka 34 derajat. Masya Allah sekali, ubun-ubun terasa dijilat api. Namun demi tuntunan kebutuhan, sepanas-panasnya matahari lebih panas perut keroncongan tanpa punya stok makanan. Anak-anak menangis minta jajan, isteri ngambek tak punya uang belanja.

Di tengah terik tadi, sepulang dari pasar, aku berhenti di pinggir jalan raya, menatap langit biru amat menantang. Melihat lalu lalang pengendara. Tak jauh dariku penjual bakso tampak lelah mendorong gerobaknya. Matanya terlihat sayu dengan sisa senyum agak layu. Kakinya meranggas sisa lelah menguras tenaga.

Tak jauh dariku juga Abang Tukang Ojek sedang penuh harap menunggu penumpang. Abu jalanan, sengatan matahari dan terpanggang keganasan zaman itu hal lumrah yang dialami. Bagi mereka, panas itu teman untuk memudahkan mata pencaharian. Tak ada itu skincare, yang ada mengumpulkan rupiah sebanyaknya untuk senyum isteri di rumah dan tertawa manja anak-anak yang minta jajan. Walau kulit gosong, terpenting jiwa semangat berjuang.

Aku hanya menonton, belum sanggup kalau sampai mencukupi rupiah di tangannya. Di antara yang menyentuh rasaku ialah melihat tukang sol sepatu dan sandal. Keliling dari rumah ke rumah berharap ada yang mau memperbaiki sepatunya. Terkadang dalam satu kampung tak ada satu orang pun yang menyuruh, dengan sisa semangat yang ada ia berjalan menjemput rejekinya. Lelah pun jadi obat untuk senyum keluarga di rumahnya.

Lagi-lagi aku ingat perjuangan emak dan bapak, bagaimana demi tercukupi kebutuhan 8 anaknya harus pontang-panting bekerja. Siang terasa menjadi medan juang dan malam jadi penambah cuan pula. Terutama, ketika Emak punya si kembar. Si kembar harus minum susu formula, begitu kakaknya karena ASI-nya Emak tak ada.

Masa itu, kami harus rela makan kadang ditemani terasi yang dipanggang atau di hari tertentu bapak mencari belalang di sawah. Masa itu rumah terasa panas dengan adu mulut atau sesekali tangis jerit bayi yang tak kenal waktu. Belum keadaan Emak yang melemah, sebagai anak yang besar tentu aku memahami itu bagian dinamika kehidupan kami.

Kami boleh mengeluh, di luar sana masih banyak yang lebih menderita nasibnya dari kami. Malam yang seharusnya jadi melepas lelah siang, aku justeru banyak tahu Emak tidak tidur semalaman mencari cuan membuat kertas. Pagi tetap Emak juga terbangun paling awal. Seolah tak ada apa-apa tiap hari matanya merah menahan kantuk.

Menjadi anak tertua di keluarga memang tak selalu enak. Kadang kita yang dipaksa untuk jadi kaki tangan orang tua. Hal itu kadang jadi kecemburuan adik yang lain, seolah-olah jadi kaki tangan enak saja. Padahal ada masa di mana kamu tidak menjadi dirimu demi tuntunan, dan itu kadang melelahkan.

Meskipun begitu, itulah tanggungjawab. Kita tak bisa memilih lahir di mana, orang tua siapa dan dengan keadaan seperti apa. Hal yang bisa kita lakukan adalah berani menyikapi dengan penuh kesadaran. Itu yang terus aku pelajari dan lakukan. Tak peduli seperti apa nanti hasilnya, aku hanya memikirkan selagi punya kesempatan berbakti tidak dilakukan.

Langit biru memang menyengat kulit, apa artinya sengatan itu kalau nanti di alam akhir sana, iman tipis dan ilmu tak mencukupi. Pada siapa kita minta berteduh, pada siapa kita agar terjaga. Sebab di masa itu, matahari hanya beberapa jengkal di kepala kita. Semua tergantung amalnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun