Mohon tunggu...
Mahyu Annafi
Mahyu Annafi Mohon Tunggu... Lainnya - Guru Ngaji

Hamba yang sedang belajar menulis, suka membaca dan menelaah berbagai pemikiran. Saya condong menulis ke dunia pendidikan, metal dan isu sosial. Angkatan ke 38 di Kelas Menulis Rumah Dunia (KMRD) di Serang. Sehari-hari berdagang dan menulis di blog.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Ketika Harus Pergi

15 Oktober 2024   17:50 Diperbarui: 15 Oktober 2024   18:24 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Langkah kaki bapak ke salah satu tujuannya. (dokpri).

Tadi pagi aku ziarah ke makam bapak dengan Emak dan cucunya. Tak jauh juga tak dekat. Terletak di ujung kampung kami. Masuk ke perkomplekan abadi itu jiwaku seperti terbetot. Masuk kepada keheningan. Anganku terbang ke masa di mana jasad bapak di masukkan ke liang lahad.

Aku yang ingin mengazani bapak tak kuasa berbuat apa-apa. Tubuhku lemas, badanku bergetar dan mataku tak henti dibanjiri dari sisa tangis semalam. Rasanya, begitu cepat memisahkan ragaku dengan bapak.

Padahal sebelumnya sempat bercanda, ngobrol juga dan minta doa pula. Ternyata detik-detik menjemput malakul maut di depan mata. Andai aku tahu mungkin tubuh bapak yang tak lama lagi terbujur kaku itu aku peluk sekencang-kencangnya.

Siapa nyana, masa bergerak begitu cepat.

Di kuburan tadi aku melihat kesedihan dan kesunyian. Lihatlah jiwa, di sini kelak kamu akan terkubur. Di mana mimpimu. Di mana anganmu. Di mana hartamu. Di mana segaka egoisme mu. Semua purna oleh keabadian.

Bapak yang dulu begitu dekat badannya, kini hanya pusara. Berkasur tanah, berbantal tanah, di temani melata dan sana-sini tanah saja. Bukan cor atau semen tapi hanya tumpukkan tanah yang diinjak-injak. Ya Allah, bapak!
 
Satu hal yang aku pahami sekarang, aku harus lebih kuat dari sebelumnya. Bagiamana pun menjadi orang yang menjadi tulang punggung tak ringan. Aku harus lebih bersabar dan mengutamakan kepentingan keluarga. Berlatih mengendalikan mimpi, asa dan semua ambisi.

Terlebih dengan tubuh Emak yang tak lagi sebugar dulu. Semua menjadi samar tapi harus aku akui penuh tantangan. Di satu sisi aku ingin mengeluh, di lain sisi aku bersyukur atas segala nikmat Ilahi. Aku pikir semua bukan hal begitu saja terjadi, semua tercatat indah di buku kehidupan ku.

Baca juga: Mainan Baru

Teringat lagu Bang Haji Rhoma, Kalau sudah tiada sungguh terasa. Bahwa kehadirannya sungguh terasa.  Semoga Allah limpahkan rahmat dan kasihnya di sana, Pak. (**)

Pandeglang, 15 Oktober 2024   17.54

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun