Guru Gembul dirujak, rabu kemarin di diskusi terbuka di kampus UI. Begitu judul di beberapa chanel YouTube. Terlihat bagaimana Guru Gembul dibuat "kebingungan" dengan argumen yang ia sodorkan. Apalagi ketika narasumber yang kontra, Bang Nurdin meminta sumber buku atau kitab sebagai referensi argumennya. Ia nampak kelimpungan.
Debat yang seru dan penuh ardenalin pastinya. Bagaimana ia yang biasanya mahir membicarakan "data ilmiah" pada akhirnya harus takluk oleh ketidakmpauannya menyodorkan sebuah sumber. Apalagi kalau sumber itu hanya berasal dari asumsi belaka. Maka secara otomatis klaim ilmiah runtuh oleh keraguannya sendiri.
Tema debatnya cukup seksi membicarakan apa bisa keshahihan Akidah Islam di ilmiahkan. Tentu aja bagi orang awam ini bahasan cukup berat, karena apa, karena takut tersesat. Tidak bagi kalangan yang intens membahasa filsafat ketuhanan menyoal ini pintu terbuka untuk menambah juga menebalkan keyakinan pada eksistensi Tuhan di muka bumi.
Secara keseluruhan Guru Gembul sendiri mengakui bahwa ia kalah telak di debat tersebut. Terlihat ia nampak mati kutu. Berbeda dengan Bang Nurdin yang nampak siap dengan sumber-sumber, baik dari pemikir ilmuan klasik juga modern. Terlihat beliau amat lancar memaparkan gagasan juga argumentasi berdasarkan spesialisasi keilmuannya di bidang filsafat. 9 tahun di Al-Azhar!
Meskipun secara pribadi saya kurang setuju kalau debat itu untuk melihat siapa yang menang dan kalah. Tujuan debat itu mencari juga mempertahankan ide, mana yang paling kuat. Singkatnya, debat itu mencari kebenaran bukan pembenaran. Poinnya di sini. Ya, walau pun tak bisa disangkal kalau kalah-menang tak bisa dihindari.
Lepas dari itu sosok Guru Gembul memang gantle, berani debat dengan siapa pun. Ia berbicara sebagaimana yang ia mampu dan legowo mengakui kalau ada yang lebih unggul darinya. Baginya, sebagai guru ia hanya menyampaikan apa yang ia tahu maka urusan orang menerima atau tidak itu urusan lain. Dan satu lagi, ia siap dikoreksi.
Melihat sikap Guru Gembul sol tauhid tak perlu dikaji secara ilmiah mengingatkan saya pada kita pegon karya KH. Makki dari Sukabumi. Kitab itu berisi penjelasan apa itu Sunni dan karakteristiknya seperti apa. Ternyata, Ulama Suni sendiri menyikapi ayat mutsyabihat (ayat yang belum terang artinya) terbagi dua: ada yang tawaquff (diam) dan yang memprediksikan maknanya apa lewat perbandingan ayat lain.
Benar kata Guru Gembul, Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hambal memang tidak berkomentar soal Allah dan sifatnya. Ketika ada ayat yang mengatakan Allah ada di arasy dan tangan Allah di atas tangan yang lain, Ulama besar itu memilih diam. Cukup Allah yang tahu!
Tetapi hal yang mungkin luput dari kajian Guru Gembul bahwa banyak Ulama justeru berusaha mengaji ayat tersebut demi lepasnya Ummat dari fitnah. Selain itu membantah dari kaum ateis juga yang ingin pudarnya Islam di dunia. Ulama itu mengerahkan daya dan upaya mengakji, misalnya "tangan Allah" ditafsirkan kekuasaan Allah bukan ditafsirkan secara literal.
Kita mengenal Imam Asyari, Imam Ghazali, Ibnu Rusyid, Ibnu Sina dan masih banyak lagi berada di barisan ini. Sejarah mencatat apik sumbangsihnya. Lahirnya Filsafat Islam adalah upaya itu, terlepas mungkin Guru Gembul tak setuju. Idealnya memang ilmu tak boleh ada dikotomi tapi ketika keadaan mungkinkan itu, mau apa lagi?