Adik saya curhat ke saya, ya sedikit mengeluh gitu soal tugas kuliah yang lumayan menumpuk. Tugas itu membuat resume atau hal lain. Dia pusing karena harus mencari sumber, membaca, merangkum dan menuliskanya. Apa cukup dari itu, tidak ternyata, dia harus menyesuaikannya pula gaya bahasa yang cocok.
Walaupun melelahkan, dia berusaha untuk menyelesaikannya semampunya. Hal ini berbeda dengan teman-temannya, karena merasakan kesulitan pula mencari alternatif lain. Bukan mencari joki tapi menggunakan aplikasi ChatGPT yang booming itu.
Kita tidak perlu pusing-pusing menguras otak, mencari sumber, mengolah dan menuliskanya. Kita cukup menulis tema apa yang kita inginkan, tak lama kita disuguhi format apa yang bakal kita garap. Kalau kita mau, kita pun bisa membuat artikel tanpa harus menguras otak.
Setahu saya, banyak pula penulis blog menggunakan aplikasi ini untuk kuantitas karyanya. Kalau sehari biasanya mampu memposting satu sampai tiga tulisan, dengan adanya aplikasinya kita bisa mengandakan karya berlipat ganda.
Di lain sisi, fenomena ChatGPT bisa mempengaruhi mental kita. Kita ingin potong kompas untuk menghasilkan karya, tanpa usaha yang maksimal. Akhirnya apa? Kita menjadi pragmatis terhadap sesuatu. Ngapain capek-capek membaca buku dan manghayati isinya, kalau ada acara gampang mendapatankanya.Â
Buat apa-apa pusing membuat tulisan sampai berkerut-kerut di kening kalau ada cara mudah menuliskannya. Mental seperti untuk waktu yang panjang dapat mengikis semangat kita berkarya dan menghormati karya itu sendiri. Padahal karya itu tidak sekedar tulisan tanpa makna. Di baliknya ada proses panjang penulis untuk satu pada kesimpulan tulisannya memang layak dibaca.Â
Imbas negatif chatGPT dirasakan pula seorang  dosen dari Amerika Serikat, Dr. Victoria Livingstone. Ia mengeluhkan sikap mahasiswa pascasarjana didiknya yang tiap membuat tugas lebih mengandalkan teknologi ChatGPT sehingga berpengaruh kepada karya itu sendiri.Â
Meskipun teknologinya bisa menerjemahkan data (kemauan orang) tapi sisi lain belum bisa menafsirkan data itu sendiri. Sistem komputer ini hanya mengumpulkan dari data besar lantas mengolahnya tapi belum mampu menjelaskan secara rinci dari apa yang diolahnya.
Berbeda dengan kita yang mampu menganalisis ide tersebut secara rinci. Untuk itu, untuk mengahasilkan karya maka perlu berjam-jam menekuri sebuah pikiran dan data. Begitu kata Dr. Victoria yang saya lansir di Detik.com. Bahkan, beliau mengundurkan diri dari tugas sebagai dosen.
Mencermati kenyatan ini, saya pikir kita harus cerdas menyikapi teknologi ChatGPT ini. Tak ada larangan bagi kita menggunakan produk teknologi mutakhir ini, apalgi bagi kalangan pelajar yang akrab dengan aktivitsa literasi.
Hanya saja, gunakan sebagai opsi kedua ketika gelap ide bukan penunjang keseluruhan. Hal itu bisa memanimulasi kecerdasan kita sehingga dalam waktu lama bisa menumpulkan ketajaman berpikir kita. (***)
Pandeglang, 5 Oktober 2024 Â 17.56
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H