Kiai Imad soal terputusnya nasab kaum Ba'lawi ke baginda Nabi. Sebelumnya saya juga sempat membaca antitesis dari Habib Hanif dkk, yang menyangkal cukup keras argumentasi dari Kiai Imad.
Saya baru saja membaca secara utuh tesis dariPandangan saya sebagai awam, keduanya berdiri dengan dalil yang kuat. Keduanya mengambil landasan dari tradisi turats yang sudah membumi di kalangan santri. Dua kutub ini sudah bertemu dan bertarung ide, baik di media maupun karya.
Â
Rabithah Alawiyah sudah pula memfasilitasi kedua arus ini, namun ada yang tak hadir. UIN pun pernah juga memfaisilitasi, tapi ada pula yang tak hadir. Podcast Rhoma Irama tak ketinggalan memberi ruang keduanya menyampaikan gagasannya, lagi-lagi ada yang hadir.
Apa alasannya, saya tidak tahu. Entah sebab keamanan, kenyamanan atau mungkin keselamatan yang perlu dipertimbangkan secara matang. Intinya, secara langsung Kiai Imad dan Habib Habib Hanif belum juga bertemu secara terbuka memperdebatkan tesis yang sudah dua tahun ini menggegerkan jagat nusantara.
Di sini perlu kiranya, MUI turun gunung untuk memberi edukasi masyakarat dengan cara memfasilitasi keduanya untuk mujalasah terbuka. Lantas diperdebatkan tesis itu agar tidak menjadi kegaduhan yang terlarut-larut.
Semoga dengan diberi ruang ada titik temu, sedikitnya pemahaman agar ada titik damai agar berakhirnya polemik nasab ini. Keinginan ini pernah disampaikan pula oleh Ustaz Adi Hidayat di chanel Youtub-nya.
Sampai saat ini MUI cukup hati-hati melihat perdebatan ini. Kalau soal isu lain cukup aktif, entah kenapa soal nasab ini terlihat lebih waspada.
Padahal Kiai Imad ialah Ketua Majlis Fatwa MUI Banten, tentu bisa terukur kapastiasnya. Habib Hanif seperti kita tahu, termasuk dai muda yang cukup vokal dalam berdakwah. Keduanya bisa dipastikan moderat, dialog terbuka bukan hal musykil selama MUI mau serius mengelolanya.
Kalau kemarin gagal di beberapa tempat, tak ada salahnya MUI mencoba meng-islahkan agar ada titik di mana, walau pun berbeda pemahaman dan ide untuk jadi teladan kepada masyarakat awam. Berbeda itu akan jadi rahmat selama kita mau menyikapinya dengan kepala dingin dan terbuka akan pemikiran lain. Tujuannya, dicari kebaikan demi perbaikan bangsa, agama dan negara tercinta. (***)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H