Dua hari lalu saya berbincang dengan salah satu panitia acara PHBI di kampung saya, membicarakan siapa pengisi acara di acara maulid Nabi nanti. Disebutkan bla-bla gitu. Walau pun ada hal janggal, tentang satu hal yang entah ini aib atau engga.
Rencananya di acara nanti panitia mau mengundang seorang qori yang terkenal, tapi batal. Kenapa? Gara-gara budget gak cukup. Panitia urung untuk deal karena keterbatasan dana. Ya, namanya dana iuran di kampung, bisa ditebak berapa.
Kok bisa? Bisa lah, kabarnya yang bersangkutan minta tarif tertentu. Tak hanya itu, acara itu pula bakal masuk kontennya. Utusan pihak panita agak kurang sejalan dengan keinginan itu. Kesimpulannya, gagal untuk mengundangnya.
Tidak ada salahnya juga seorang qori meminta tarif. Pun tak salahnya seorang pendakwah minta garis tarif, selama wajar dan tidak memaksa. Hal yang ironi kalau itu dijadikan keharusan. Kalau tak mengikuti dibatalkan, apa pun alasannya. Bahkan di kasus lain meminta uang muka sebelum acara meski pun jadwalnya masih jauh sekali. Sungguh tidak etis.
Terus kalau berhalangan hadir atau gagal, gimana? Hanguslah uang muka itu. Singkatnya jadi milik tokoh agama itu. Entah apa status hukumnya. Katakan panitia diminta uang muka 2 juta, maka uang 2 juta itu jadi milik tokoh agama itu kalau pun berhalangan hadir. Pernah kok terjadi ini di salah satu di kota saya, tokoh agama itu tak hadir padahal jamaah menunggu. Uang 2 juta pun raib!
Bagi saya, ini mengherankan. Bagaimana mungkin dunia dakwah dilakukan seperti dunia bisnis. Kamu bayar segini, aku datang. Kamu kasih uang di muka sekian, aku catat tanggalnya. Miris sekali, di saat yang sama mulutnya berbusa menerjemahkan teks agama dengan fasih. Apa boleh buat, hanya manis di lisan dan pahit di perbuatan. Kok bisa ada ukuran untung rugi begitu.
Hal ini mengingatkan saya pada kata-kata Imam Ghazali di Ihya Ulumuddin, bahwa rusaknya rakyat karena pemimpinnya. Rusaknya pemimpin karena tokoh agama sudah main mata dengan hal duniawi. Betapa banyak tokoh agama mengoreksi pemimpin politik kita, katanya gini katanya begitu.
Giliran kalangannya yang dikoreksi, bukan dipikirkan dan dipahami malah bersikap urakan. Dunia dakwah lahan subur yang kadang jadi abu-abu. Niatnya dakwah bukannya memberi edukasi dan memberi pemahaman yang baik, direduksi kepentingan pribadi berkedok agama.
Kalau Muhammadiyah punya jargon abadi, hidup-hidupilah Muhammadyah dan jangan numpang hidup di muhamadiyah. Diikuti dan dipahamu segenap keluarga besarnya. Tak ayal, amal bakti Muhammadiyah untuk negeri dan Islam luar biasa sekali. Fokusnya karya, bukan memperkaya.
Kalau kita tarik lebih luas jargon itu, hidup-hidupkan Islam dan jangan numpang hidup di Islam, rasanya dunia dakwah mungkin agak lain terlihat. Kita bukan fokus pada apa yang kita dapatkan tapi seberapa luas orang merasakan apa yang kita lakukan. Semua jujur dilakukan karena Allah. Biarlah masyarakat sendiri menilai, memberi dan menerima. Kalau lebih dari itu, sudahi saja dari pelanjut dakwah, fokus saja berbisnis yang halal.
Kalau nabi itu disebut oleh ibunda Aisyah Al-Quran terbuka, sehingga kita melihat akhlaknya. Sepantasnya, pelanjut perjuangannya pun bisa jadi "kitab terbuka" yang bisa di lihat dan diteladani umat. Aneh, dunia dakwah kok jadi ajang memupuk materi. Ke mana-mana menonjolkan kemewahan diri. Ucapannya merasa paling suci. Giliran dikritisi, emosi membenarkan diri!
Kesimpulannya menerima upah karena mengajarkan ilmu agama itu mubah. Membaca kalam ilahi dengan indah lantas dibayar sepantasnya, itu boleh. Alangkah miris, ketika harus jadi ajang memupuk harta dengan pembenaran-pembenaran syar'i. Ingatlah, banyak ummat yang cerdas maka sebarkan kecerdasan itu agar makin banyak yang cerdas. "Ulama fi amplopihim," begitu kata Habib Rizieq. (***)
Pandeglang, 27 September 2024 Â 00.25
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H