Tulisan ini bukan ingin menulis keindahan foto di atas. Keindahan itu terlalu muskil diceritakan. Bukan tak punya makna. Lebih kepada, saat hati tak enak, maka ramuan apa yang bisa membuatnya manis dicerna.
Tulisan ini justeru ingin merangkai peristiwa yang gagal aku pahami. Peristiwa tentang ia yang katanya baik, terhormat dan punya titel suci.
Beginilah ceritanya.
Orang itu dari dulu memang sering buat aku jengkel. Entah kenapa, jangakan dengar omongannya, lihat wajahnya saja sudah memberi efek ketus gitu. Aku jadi heran sendiri dengan diriku, kenapa sebegini parahnya menumbuhkan kejengkelan di jiwa.
Barusan terjadi juga, luapan kekesalan ke orang bersangkutan. Alasannya sederhana sekali, orang sekaya itu kok pelit banget. Herannya saya, sebanyak itu harta punya, sikapnya seperti orang yang gak punya apa-apa. Untuk membeli apa-apa saja harus berpikir seribu sekali.
Heran saya, ia ingin mendapatkan sikap baik tapi dia tak mau bersikap baik. Katanya ia orang kaya, orang baik ilmunya karena rajin pengajian dan rukun iman sudah komplit dilakukan. Entah kenapa, saya tak merasakan kehangatan iman dan ilmu itu.
Di posisi ini saya heran dengan diri saya, kenapa saya bisa sejengkel ini? Saya tidak membenarkan sikap dan kata-kata buruk saya. Bagi saya, itu tidak baik. Di sisi lain, ada sebongkah pikiran saya membenarkan, bahwa itu bagus kok. Walau saya harus akui, saya menyesali semuanya.
Saya ingat dari sebuah buku, ketika marah dan jengkel terhadap sesuatu sesungguhnya kita sedang jengkel dengan diri kita, bukan orang lain. Kenapa begitu? Karena ketika kita ingin jengkel atau marah, kita bisa memilih dan memilah diri kita, apa mau jengkel atau bersikap biasa.
Artinya itu proses kita merespon pergolakan jiwa. Itu lah kenapa sebagian orang mampu tidak marah, jengkel dan sebaliknya bersikap biasa ketika di hinakan. Sebabnya ia mampu mengontrol emosi itu, karena biasa dan membiasakannya.
Jadi ya begitu, ia memang bikin jengkel. Efeknya bikin setengah hariku agak tercemar. Aku berpikir lagi, salahnya bukan di ia, tapi di diriku saja yang kurang menerka pesan-pesan amoral itu. Hem, mungkin. (**)