Sudah hampir satu bulan ini adik saya terlihat banyak di rumah. Roman mukanya menyiratkan kegalauan hatinya. Penasaran dong saya, ada apa. Dan, kenapa teman-temannya yang biasanya ceriwis itu tak terlihat. Setelah saya konfirmasi, katanya lagi musuhan.
Tadinya saya pikir biasa ya, namanya anak-anak di masa pubertas emosinya tak stabil. Musuhan biasa saja. Agak lain pas Emak membongkar fakta sebenarnya, kenapa adik bungsu begitu, dan tak ditemani seperti biasanya. Dipicu karena adik saya, yang sering pulang duluan dari sekolah untuk keperluan santunan. Teman-temannya merasa tak dihiraukan. Ada juga motif lain juga.
Jadi ujungnya, karena dikompor-in oleh satu orang terus yang lain diancam, maka sepakat mendiamkan adik saya yang agak pendiam itu. Di kelas sendiri di antara banyak itu. Bullying pun terjadi. Emak yang mendengar curhatnya meradang, sampai harus mendatangi orangtua yang "yang kompor" itu agar mengingatkan anaknya agar lebih baik bersikap. Mirisnya, sikap orangtuanya kurang simpati. Seperti membenarkan sikap itu. Kecewa pasti.
Kekecewaan itu bertambah, bullying itu sudah dialami dari sejak kelas 2 SD sampai sekarang 5 SD. Sampai pernah si bungsu minta ingin pindah sekolah agar lebih nyaman belajar. Akan tetapi, masalahnya ia sudah kelas 5, yang tak lama lagi menginjak kelulusan.
Bullying ternyata sudah masuk ke sekitar kita. Mungkin sebagain kita ada yang bilang,Â
"Halah, yang begitu ini. Kok dianggap besar, yang ada nanti membuat anak manja. Tidak punya kemandirian." Terlihat benar memang, tapi apa efeknya? Silahkan baca fakta berikut.
Di media tengah ramai kejadian bullying sampai ke kekerasan di Kampus Binus Simprug. Berawal di-bully, mengarah ke kekerasan dan pelecehan. Di Tegal sana, tepatnya 12 Agustus 2024 dr. Aulia Risma Lestari ditemukan tak bernyawa di kosan-nya diduga bunuh diri. Setelah diselidiki, ternyata overdosis dengan menyuntikkan obat anestesi ke tubuhnya untuk menenangkan pikiran.
Dari info yang ada, dokter muda itu mengalami tekanan jiwa karena bullying dari seniornya. Ya tugas Program studi-nya berat juga perundungan dari seniornya. Tentu saja, yang paling menggerkan kita adalah kasus kematian tragisnya Vina yang viral itu. Ternyata, awalnya dari bullying dari teman sekolahnya. Kenyataan ini cukup menjadi pelajaran buat kita agar tidak menetralisasi kasus bullying sekecil apapun.
Terus, apa yang kami dilakukan di rumah?
Tentu kami memberi edukasi. Diberi pemahaman bagaimana efek bullying itu. Tatkala dibullying itu, hanya dua hal yang bisa kita lakukan: melawannya atau mendiamkan. Melawan bagi yang cukup keberanian, sedangkan yang tak cukup nyali mendiamkan atau menghindarinya.
Menyilkapi apa yang terjadi pada si bungsu, saya pikir ini patut jadi perhatian kita semua. Efek buruk bullying akan menyasar ke mental healt anak kita. Anak kita akan mudah cemas, tidak punya keberanian dan dalam waktu panjang akan terjadi depresi akut. Bagi pelaku pun akan kehilangan kepekaan.
Tentu saja, kita tak bisa membebankan pembelajaran dan kontrol anak-anak hanya pada guru di sekolah, perlu juga integrasi dari orang tua juga lingkungan untuk tidak menormalisasi bullying sekecil apa pun. Karena siapapun bisa menjadi korban. Edukasi dan pemahaman mutlak dilakukan.
Anakmu itu anak zaman, begitu kata Kahlil Gibran. Dia akan hidup di zaman yang berbeda. Di zaman serba canggih ini, tetaplah kontrol penggunaan hapenya agar tak terjadi hal yang tak diinginkan. Betapa banyak efek negatif, baik sikap dan kata-kata dipengaruhi gadget-nya.
Â
Sebagai penutup saya kutip kata-kata Sayidina Ali bin Abi Thalib, "Didiklah anakmu sesuai zamannya. Sebab ia, akan hidup di zamannya bukan di zamanmu." Wallahu'alam. (***)
Pandeglang, 18 September 2024 Â Â 21.11
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H