Di kampung kami, ada sekelompok orang yang biasa disebut Pemburu Berkat Maulid, di singkat PBM. PBM biasanya, di mana ada acara maulid di situ mereka ada. Diundang atau tidak, mereka tetap ada. Sehari bisa menghadiri satu, dua atau mungkin tiga acara. Dari satu kampung ke kampung lain.
Kok bisa tahu? Karena mereka punya seperangkat intel sekuarela yang tersebar. Tak digaji tapi berbaik hati memberitahukan di kampung mana saja ada acara maulid. Intel ini juga ikut nanti hadir.Â
Kok tahu? Karena aku pernah satu di antara pasukan PBM itu. Tiap malam bergerilya dari satu kampung ke kampung lain. Jujur saja, ada seru, sedih pun malunya. Serunya itu kalau kita dapat berkat yang lumayan besar, ya gak jauh lah sama para ajengan.
Betapa nanti bangganya menggondol ke rumah. Disambut Emak dengan senyum ceria. Bungah banget. Sedihnya itu, kalau orang lain dapat dan kita dapat ala kadar. Pernah aku rasakan begitu, yang lain dapat bingkisan yang lumayan. Giliran dapat, eh cuma di PHP. Anjay pokoknya. Haha.
Tapi ada momen malunya juga sih, kalau pulang bawa berkat terus diejek dan dicibir. Sedikitnya diberi tatapan sinis atau senyum licik gitu oleh meereka. Kuping terasa panas, kemarahan sudah diubun-ubun, dan hati terbakar api dalam gundukan es kutub utara. Sedikit saja ditegor pokoknya gitu dah.
Untungnya, tak sampai membalas sih. Dimaklumi saja kalau ada orang yang tak suka atau mungkin tak setuju dengan tradisi maulid ini. Apa yang harus disanggah kalau orang tidak suka, bisa saja orang tak suka itu punya alasan untuk tak suka. Misalnya melihat praktek maulid yang dimatanya tak sejalan dengan syariat, tak sejalan dengan pikirannya atau mungkin malas hadir di acaranya saja.
Ngomongin PBM, kita ngomongin kenyataan. Kalau masyarakat banyak yang menjadi PBR maka tandanya angka kemiskinan tinggi. Sebab, setahuku, sebagai mantan pemburu berkat sejati motifnya ya ekonomi. Lumayanlah untuk menambah sembako di dapur, karena rata-rata berkat maulid kan mentah.
Terus, bagaimana kalau secara ekonomi cukup tapi masih berstatus PBR juga? Ya sama, miskin juga. Miskin mental. Mental miskin ini yang kadang sudah berkarat di sebagian masyarakat kita. Tak mau usaha keras hasil pengen istimewa. Rela menahan malu demi satu besek yang tak seberapa.
Tak masalah bagi mereka yang secara ekonomi berada di bawah garis kemsikinan maka hadir di acara maulid itu bentuk ikhtiarnya. Selain dapat ilmu juga dapat berharap berkat. Dua-duanya kan rejeki yang tak boleh ditolak kalau ada kesemapatan. Ada juga yang murni untuk menambah ilmu, ada juga karena faktor keduanya.
Di wilayah kami, umumnya Banten ya, maulid memang ramai. Di kampungku saja, tiap acara maulid panitia harus menyiapkan lebih dari 4.000 berkat. Itu pun kabarnya bisa lebih kalau ada undangan tak diundang hadir.
Dari mana dananya? Tentu saja dari masyarakat dan dari donatur. Lantas dikelola sebisa mungkin oleh panitia. Apa panitia digaji? Gak juga, asli sukarela saja. Paling adalah jatah konsumsi. Itu pun ala kadar. Murni menjaga tradisi saja yang diwarnai nilai keislaman. Warisan para Ulama yang disandarkan pada dalil pastinya.
Aku tidak akan bicara soal status hukumnya maulid. Biarlah diperdebatkan mereka yang ahli saja. Kita yang awam, cukup melihat, membaca, merenungkan dan memilih mana yang buat kita nyaman. Intinya, maulid bulan suka cita untuk menggali sejarah nabi dan perjuangannya. Pelanjut juang risalahnya juga sampai sekarang, bagaimana dinamika dakwah.
Seperti yang dikatakan KH. Ahmad Dahlan, "Islam di dunia mungkin tidak akan hilang, tapi siapa yang bisa memastikan Islam di Indonesia akan abadi." Wallahu'alam. []
Pandeglang, 14 September 2024 Â 21.15
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H