Mohon tunggu...
Mahyu Annafi
Mahyu Annafi Mohon Tunggu... Lainnya - Guru Ngaji

Hamba yang sedang belajar menulis, suka membaca dan menelaah berbagai pemikiran. Saya condong menulis ke dunia pendidikan, metal dan isu sosial. Angkatan ke 38 di Kelas Menulis Rumah Dunia (KMRD) di Serang. Sehari-hari berdagang dan menulis di blog.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Obrolan Saya dengan Mang Muhi Soal Problematik Oknum Agamawan

10 September 2024   15:53 Diperbarui: 11 September 2024   22:41 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diambil di YouTube Rabithah Alawiyah.

Kenapa begitu? Karena santri ini menyandarkan rejeki pada orangtuanya bukan pada Allah. Padahal hakikat rejeki itu dari Allah bukan selainnya. Di sini jelas. santri itu musysrik. Katakan santri itu pulang lagi ke pondok karena sudah dapat bekal, di perjalanjan tertabrak mobil dan tewas. Maka tewasnya ini dihukumu musyrik!

Saya menyanggah, mungkin fasiq bukan syirik. Sebab dosa paling besar itu ya syirik, Mang Muhi tetap menyanggah tetap mati musyrik sebab menyandarkan rejeki pada orangtuanya bukan pada Allah. Konsekwensi agama terhadap orang syirik pun lumayan berat, jadi tidak boleh gegabah.

Jujur saja saya kurang setuju. Setahu saya wilayah musyrik itu tidak hanya dilihat secara sesederhana itu, terkecuali jelas secara amal dan i'tikad santri itu meyakini rejeki hanya dari orangtuanya, maka dimaklumi musyrik. Lah ini, dia meminta ke orangtuanhya karena meyakini orangtuanya wasilah rejeki dari Allah. Bukan memaklumatkan orangtuanya jadi Tuhan, jadi jelas soalnya, apalagi santri itu belajar tauhid pula di pondok, masa iya semudah itu dihukumi syirik!

Memahami obrolan dengan Mang Muhi ini saya ingat tuduhan dari sebagain kaum cendekiawan, bahwa kenapa Islam mengalami kemunduran berabad-abad, tak lain karena kita terpapar "paham tasawuf". Fase ini ketika Imam Al-Ghazali dengan gerakan Ihya Ulumudinnya yang dicerna sepihak. Sampai sekarang banyak kaum muslimin melihat sepihak terhadap sesuatu tanpa mau capek membandingkan dengan bidang keilmuan lain. Lebih suka menghakimi daripada mencari solusi.

Hemat saya, tak ada soal paham tasawuf ini ketika dipelajari secara lengkap dan urut. Toh, banyak kok yang memahami tasawuf dan mereka bisa relete dengan kenyataan. Masalahnya, bukan pada ilmu tasawuf tapi bagaimana kita menalar dengan logika sehat. Tasawuf kan bidang ilmu juga, maka tak ada salah mengkajinya sebagai tingkatan yang cukup tinggi di hirarki kajian di dunia pondok.

Sampai di sini, benar kata nabi, belajar itu dari buaian sampai liang lahad. Maksudnya adalah jangan berhenti menambah pengetahuan selama kita mampu. Semangat keilmuan ini harus dipelihara. Tak hanya satu bidang, pun bidang lain pun layak pula dikaji sebagai tambahan wawasan kita. Wallahu'alam. (***)

Pandeglang, 10 September 2024  15.19

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun