Mohon tunggu...
Mahyu Annafi
Mahyu Annafi Mohon Tunggu... Lainnya - Guru Ngaji

Hamba yang sedang belajar menulis, suka membaca dan menelaah berbagai pemikiran. Saya condong menulis ke dunia pendidikan, metal dan isu sosial. Angkatan ke 38 di Kelas Menulis Rumah Dunia (KMRD) di Serang. Sehari-hari berdagang dan menulis di blog.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Memetik Pesan di Novel untuk Hati yang Tak Bisa Luka

6 September 2024   00:50 Diperbarui: 6 September 2024   01:08 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber dokpri.

Aku pernah kok mengalami fase di mana mencintai teman sendiri. Aku bingung dong sekaligus cemas. Aku sayang dia tapi juga tahu diri dengan keadaanku. Dia bintang kelas, lah aku apa, laki-laki biasa saja. Justru di masa itu aku memang pesimis.

Terus, apa yang aku lakukan?

Tetap mengungkapkan perasaanku. Aku tak peduli apa hasilnya. Benar saja, seperti yang aku pikirkan, aku ditolak. Apa aku kecewa? Sedikit sih, selebihnya biasa aja sih. Dengan begitu aku tahu perasaannya dan dia tahu pula perasaanku. Hal itu jauh lebih baik daripada aku harus cemas dengan pengharapan tanpa kepastian.

Kalau dipikir-pikir sekarang aku malu sendiri. Betapa konyolnya aku, masa iya aku menguntungkan perasaan di depan kelas, dekat meja guru dan di saat teman-teman sekelas pada kumpul. Untungnya, gak ada yang tahu bahwa aku "nembak dia". Uniknya, saat itu dia langsung menjawab serta langsung menolaknya. Tragis banget ya! Hihi.

Alasan aku menembak dia jelas sih  karena dia memberi perhatian dan pengharapan lebih ke aku. Aku gak mau dong digantung perasaannya. Padahal aku tahu, doi tajir dan tipenya ya, jauhlah sama aku. Entah kenapa, masa itu aku berani ambil resiko. Prinsip ku, lebih baik tahu sesungguhnya gimana daripada penasaran yang penuh siksaan.

Di sinilah aku memahami, laki-laki memang harus punya tekad. Berharap saja ga cukup tanpa action. Saat kita mencintai seseorang, kita harus mengungkapkannya. Jangan diam. Kecuali, dia gak mau atau isteri orang! Tentu ini urusan lain. Haha.

Kalau kita mencintai ya harus tanggung jawab. Memperjuangkan atau mendiamkan. Diam otomatis kehilangan dia. Memperjuangkan resikonya dua, ditolak atau diterima. Namun hasilnya jelas.

So, aku menyarankan teman-teman membaca novel ini. Bahasanya sederhana dan mengalir. Selebihnya, akan menemukan kejutan di dalamnya. Sekilas mengingatkan aku pada novel Dilan, karyanya Pidi Baiq. Bedanya satu sih sih, tingkat keseruannya. Selebihnya, silahkan baca sendri oleh pembaca.

Pandeglang, 00.37 | 6 September 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun