Syukur alhamdulillah di IBP (Indonesia Book Party ) kemarin, saya bisa hadir setelah sekian lama alfa. Terlalu lama hanyut di pusaran kesibukan sehingga tak tersisa waktu untuk menjeda- men-cas diri dari hiruk-pikuk kehidupan.
Kemarin itu, alun-alun Pandeglang ramai. Terlebih sedang berlangsung kegiatan kepramukaan. Meski pun begitu, keramaian tak menganggu alur yang tersemat. Seperti kami di antaranya yang tetap mengeja kata, meniti hikmah dengan buku di tangan.
kemarin tuh, fokus saya justeru bukan ke buku tapi ke sekeliling. Di mana para remaja putera-puteri tengah berbincang hangat dengan kawannya. Ada pula sepasang sejoli yang asyik bercengkrama. Tak peduli pasang mata menelanjanginya. Tak lain busana yang mencolok mata kaum adam.
Terlepas dari itu, kami merasa enjoy kok. Kami: Aku, Kang Miftah, Kang Yosef dan Nursi. Dua nama terakhir ini mengingatkan aku pada tokoh di novel Kang Abik. Yosef itu adik dari Maria di novel Ayat-Ayat Cinta yang mega bestseller itu. Maria sekeluarga itu beragama Kristen. Bertetangga baik dengan Fahri dkk.
Meski berbeda agama namun mereka bertetangga dengan baik. Harmoni dan praktek toleransi terlihat nyata. Di sini letak teladannya, ternyata perbedaan agama itu tak harus membuat kita antipati bersosialisasi. Semua agama cinta perdamaian dan mengajarkan kebaikan, singkatnya beda bukan alasan untuk saling bermusuhan.
Sedang Nursi mengingatkan pada novel Api Tauhid-nya Kang Abik juga. Menceritakan ulama besar dari Turki sana. Itulah Syaikh Baiduzzaman an-Nursi. Novel itu sendiri menceritakan rihlah religi-nya Fahmi dkk untuk menyusuri napak tilas perjuangannya Syaikh Nursi. Terlebih dengan risalah nur-nya, yakni tafsir al-Qur'an yang beliau karang sendiri di tengah perjuangannya dari penjara ke penjara, dari pembuangan ke pembuangan sampai pada di mana beliau menghembuskan nafas terakhirnya di medan dakwah-nya yang amat heroik.
Kebetulan di IBF kemarin saya mengupas buku Api Sejarah-nya Ahmad Mansur Suryanegara jilid kedua. Kalau di jilid pertama menceritakan sejarah Islam dari masa rasulullah sampai tahun 1945, maka di jilid kedua dari tahun 1945 sampai 2016. Saya sedikit memaparkan bab pertama, bagaimana alibi penjajah untuk membodohi rakyat jajahannya.
Misalnya penjajah sangat berhati-hati dengan kalangan Ulama dan Santri. Kenapa? Karena golongan ini terkenal berani dan gerakannya taktis. Jepang untuk melanggengkan kekuasaanya justeru menggandeng kalangan Ulama dan Santri, berbeda dengan Belanda yang yang terkesan menjaga jarak.
Buku ini memang lebih condong menampilkan upaya apa saja yang dilakukan kalangan Islam memperjuangkan kemerdekaam juga menjaganya. Pesantren sebagai lembaga tertua di Indonesia sangat dihati-hati dipantau. Kenapa? Karena dari pondok banyak lahir pejuang.
Ini wajar, di masa itu lembaga pendidikan yang paling banyak dan terjangkau, ya pesantren. Masyarakat pun dekat karena tokoh agama selain jadi panutan juga mampu mengayomi masyarakat setempat. Itu kenapa gerakan depolitisasi Islam, deislamisasi dan desakralisasi amat intens dilakukan penjajah.
Terbukti dengan pemberontakan yang dilakukan oleh KH. Zainal Musthofa dari Pesantren Sukamanah. Kader NU itu melakukan perlawanan karena menyaksikan masyarakat kelaparan, di saat yang sama dipaksa untuk menyetor hasil bumi tanpa dibayar sepeser apa pun. Beliau bersama santri pun jamaahnya mengobarkan jihad pada penjajah.
Gerakan ini menyebar pula ke pesantren lain dan kemudian diikuti oleh para putera bangsa yang lain. Hal ini yang membuat penjajah kerepotan sehingga para pejuang tak sedikit dipenjara, di hukum mati dan ada pula yang tak jelas keberadaannya. Entah mati juga hidup. Jasadnya tak diketemukan sampai sekarang.
Selain ngomongin buku yang kami baca, kami juga sempat ngomongin Mas Gong dan Mas Toto yang kabarnya mendapat penghargaan dari lembaga tertentu berkat sepakterjangnya yang sudah 40 tahun masih eksis dan konsisten menelurkan karya. Selayaknya ini menjadi kebanggaan kita masyarakat Banten. Apalagi sekarang Mas Gong  dipercaya sebagai Duta Baca Nasional, dari banyak kandidat se-nusantara beliau terpilih. Masya Allah!
Lebih dari itu, cukup seru juga acara kemrin meski pun diskusinya kurang hangat. Entah tak ada kopi yang menemani. Atau terlalu banyak mata melihat, sedangkan kami menyibukkan dengan aktivitas berpikir. Antara terjaga, terjeda dan netra ke mana-mana melirik. (**)
Pandeglang, 26 agustus 2024 Â 20.49
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H