Mohon tunggu...
Mahyu Annafi
Mahyu Annafi Mohon Tunggu... Lainnya - Guru Ngaji

Hamba yang sedang belajar menulis, suka membaca dan menelaah berbagai pemikiran. Saya condong menulis ke dunia pendidikan, metal dan isu sosial. Angkatan ke 38 di Kelas Menulis Rumah Dunia (KMRD) di Serang. Sehari-hari berdagang dan menulis di blog.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Menangkap Pesan di Buku

28 Juli 2024   23:10 Diperbarui: 28 Juli 2024   23:39 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya agak tergelitik membaca tulisan Kang Yosep yang me-review puisi legendarisnya Jokpin di buku berjudul Selamat Menunaikan Ibadah Puisi. Judul puisi ini memang unik sekaligus inspiratif. Unik karena dari awal pembaca akan tertarik dengan judulnya yang kurang familiar.

Saya yakin di pikiran kita membaca judul itu, arahnya pasti ke ritual ibadah kita. Ibadah ya salat, puasa, ngaji dan lainnya. Kok aneh Jokpin menggabungkannya dengan puisi, emang ada. Kira-kira begitu gambaran pikiran sederhana kita.

Tidak cukup di situ, setelah membacanya ada keunikan lain. Ternyata puisi itu adalah suara keceriaan di balik kegundahan penulis. Kata yang biasa sebenarnya tapi mampu diramu dengan metafora. Ada estetik terasa di sana.


Puisi yang baik itu tak melulu menggunakan bahasa yang melangit. Biar terlihat gagah, kebanyakan kita menggunakan diksi dewa di dalamnya sampai pembaca sulit menangkap isinya. Padahal puisi adalah suara hati penulis yang ingin disampaikan pada pembacanya. Suara itu harus apa adanya, agar terlihat menarik, maka di bumbui dengan gaya bahasa.

Intinya, pembaca harus bisa menangkap pesan di dalamnya. Jangan sampai karena penulis terlalu asyik dengan kata-kata sampai lupa tujuan menulis puisi untuk apa, bahasa mengawang-awang sampai pembaca bingung dan gagal menangkap isinya.

"Menulis puisi itu bisa kok bahasa harian yang sering kita gunakan," begitu kata sastrawan  nasional asal Serang, Mas Toto S. Radit di Kelas Menulis Rumah Dunia angkatan 39, beberapa bulan lalu.

Kita bisa melihat kebenaran itu dari karya-karya Jokpin. Dalam senarai karyanya beliau seolah ingin membongkar "keangkeran" dunia puisi. Puisi itu milik siapa saja. Siapa pun bisa menuliskannya dan menikmatinya, asal punya pisau analisis yang cukup. Artinya, perlu modal kosakata untuk diramu dan diresapi.

Jangan salah, sekalipun bait per bait puisi itu sedikit tapi ada banyak pesan penulis di dalamnya. Seperti kata , hijau laut terlihat indah siapa nyana menyimpan kedalaman yang bisa merampas jiwamu. Masalahnya, siapa yang tahu? Tentu sebagian kita yang bisa mengelola akal, rasa dan jiwa dengan pisau keilmuan yang cukup.

Jujur saja, saya sedikit sekali punya koleksi buku puisi. Hal itu karena saya kurang tertarik menulis puisi, di banding esai dan novel misalnya. Rasanya kok kurang plong mengungkapkan isi jiwa lewat-lewat bait puisi. Jiwa saya kurang terwakili. Kecuali kalau lagi jatuh cinta, waduh, penuh isi kepala dengan kata-kata romantis yang ingin dituliskan.

Singkatnya, puisi bisa jadi media alternatif mengungkap keresahan kita. Puisi itu kan multitafsir, karyanya satu tapi tiap orang berbeda-beda dalam menafsirkan. Tak masalah. So, mari menulis! (***)

Pandeglang, 28 Juli 2024   23.08

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun