Satu tahun lebih kita menanam mimpi dan asa. Kita membangun percaya di atas ketidakberdayaan. Membangun ingin di antara niscaya. Di antara ragu dan entah, kita percaya dan berusaha saling percaya.
"Bagaimana kalau sampai lima tahun," kataku waktu itu menyoal tindaklanjut kebersamaan kita.
"Bila aa serius dan inginnya begitu, kenapa tidak," jawabmu diplomatis.
"Serius?"
"Seriuslah," ejekmu dengan ketidakpercayaanku.
"Bagimana, hem... kalau sekiranya, hem, hempas cuma hanya cerita," aku cemas dengan kata-kataku.
"Maksudnya?"
"Hem, ya, kalau kita berakhir tanpa akhir yang membahagiakan!" Seruku terdengar getir.
Untuk beberapa saat, kursor di layar WhattShap itu bergerak, terhenti. Terus begitu. Â Aku tahu, kamu kebingungan menjawabnya. Tapi aku tahu, kamu ingin menyampaikan sikapmu seperti apa. Tenang saja aku menunggumu kok.
"Kan kata aa, kita hanya beriktiar," ujarmu dengan emot senyum, yang terasa hambar. "Kita bersama selamanya itu nikmat, dan kalau pun tidak, kita belajar tentang proses memahami sebuah kebersamaan."
Membaca itu, jiwaku terasa meberontak. Â Mataku terasa perih. Terasa berkaca-kaca. Untung kita jauh, terpisah jutaan kilo, pulau pun ikut pula menjeda jarak kita. Karena kalau kamu melihat betapa rapuhnya soal ini, mungkin kamu akan lebih terpukul.
**
Begiulah obrolan kita tentang mimpi yang penuh gurat hitam dan sukar kita raba. Kita berharap takdir manis berujung pada gelar sah di mahligai sakral, namun kita harus pula ekstra sabar untuk menenun tiap asa yang kita catat di lembaran hidup kita.
Barangkali di sana, kamu pernah merasa lelah melangkah denganku. Tanpa wujud nyata, tanpa temu hangat, tanpa rangul cinta bak di FTV siang yang pernah kamu tonton. Tentu kamu tak mau dan tak ingin aku tahu, karena dengan tahu sama saja menggores sanubariku. Bagimu, itu hal yang tak diinginkan.
Aku hargai itu, upaya agar kita tidak berdebat soal yang menguras emosi. Lebih baik menikmati kebersamaan yang ada ketimbang adu mulut yang menyesakkan rasa. Kebersamaan kita ke mana pun akhirnya, biarlah itu Gusti Allah mengantarkan kehendak-Nya.
Aku sendiri akan memahami, jikalau itu kamu ungkapkan. Aku menyadari, meskipun pahit adanya, kenyataaannya begitu, Menunggu adalah proses yang menjemukkan, apalagi temanmu pernah bilang menjalani hubungan terlalu lama sinyal akan berakhir tak sesuai diharap. Banyak terjadi justeru gagal di tengah perjalanan.
Untuk itu, berkali-kali aku bilang, apa pun nantinya takdir mem-vonis kebersamaan kita, jangan membenci satu sama lain. Siapa yang duluan meminang dan dipinang orang lain, bila itu sudah terbaik maka harus saling mendukung. Ketika kamu bahagia, idealnya memang aku harus bahagia. Begitpula aku, walau pun dengan orang baru yang belum memahami karakter kita.
Biarkan saja, toh waktu terus berjalan. Biarkan waktu nanti mengajari satu sama lain arti pengertian. Kembali menanam saling percaya. Kendati sukar akan terasa ringan karena saling suport.
Seperti pohon, kita sedang menanam agar akarnya kuat. Kita sirami dengan kehangatan. Seiring berjalannya waktu terus tumbuh, meninggi. Batangnya mulai merayap. Daunnya terlihat indah. Berbunga. Tinggal menunggu musim, kapan akan berbuah atau mungkin begitu saja tak ada akhir, hangus oleh pengharapan.
**
Lagi-lagi aku percaya, kamu kuat dan kita tetap saling menguatkan. Bukan seberapa lama kita menunggu takdir terbaik, tapi seberapa sabar kita belajar memahami prosesnya. Kita mengambil esensi di tiap jalannya waktu. Kita menghambil hikmah untuk kita ajari, renungkan dan terapkan demi bekal perjalanan hidup kita.
Tiap orang punya jalan cerita masing-masing. Ada yang penuh elok, ada yang penuh metafora, dan ada pula penuh terjal. Semuanya menyadarkan kita, tiap orang punya skenario hidup berbeda.
Di atas semuanya, "pembuat cerita" dan "sutradara-Nya", ingin menguji seberapa tangguh bersangkutan menjalani perannya. Kalau bagus, sudah dipersiapkan reward yang lux nan abadi. Kalau lalai dan pandai mengeluh, maka resikonya penyesalan tiada tara. Sampai nanti kita menyadari: semua misteri akan terkuak secerah mentari pagi. []
Pandeglang, 24 Juli 2024 Â 22.49
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H