Sore tadi, telah berlangsung IBP (Indonesia Book Party) di alun-alun Pandeglang. Acara yang kabarnya serentak diadakan di beberapa tempat di Jabotabek. Ketuanya  Kang Jibrong. Moderator tadi sih Kang Miftah--relawan komunitas literasi Rumah Dunia di Serang. Acara itu sendiri digagas untuk semua orang, terutama para pecinta buku.
Apa yang dilakukan di sana?
Masing-masing membaca buku. Setelah dirasa cukup, satu per satu menyampaikan apa yang didapatkan dari apa yang dibaca. Setelah itu mendiskusikan. Sesuai kemampuan yang kita pahami.
Misalnya Kang Miftah sedikit mengulas buku Ada Serigala Betina di Dalam Diri Perempuan. Poin yang disampaikan, kenapa Serigala Betina? Karena Serigala  termasuk hewan yang bisa menjaga buah hatinya, mampu survive meski tak ada pasangannya dan mampu menyatu dengan lingkungannya.
Dalam konteks ini, perempuan butuh kebebasan sebagaimana yang melekat padanya. Wanita punya hak belajar dan mengepresikan dirinya. Tema ini yang kemudian kami diskusikan, bahwa stereotif perempuan hanya di rumah saja tidak benar.
Bagaimana pun perempuan berhak menggapai cita-citanya. Di mulai dari hak mencicipi bidang pendidikan. Kesadaran ini perlu ditumbuhkan. Jangan halangi untuk menikmati akses belajar sampai jenjang tertinggi sekalipun.
Saya setuju perempuan harus diberi kebebesan sebagaimana yang disering disampaikan kaum feminis, tetapi harus ada batas. Batas di mana harus tahu kodrat. Misalnya terus mempertentangkan wanita vs Islam. Sebelum barat fasih bicara hak wanita, Islam lebih dulu membahasnya.
Bukankah kita tahu hadits nabi yang berbunyi bahwa fardu untuk tiap muslim laki-laki dan perempuan untuk mencari ilmu. Kata Ulama, di susunan kalimat itu ada kata Fardu bukan wajib. Artinya, seolah-seolah di sana penekanan kaum muslimin mencari ilmu.
Di sini jelas tak ada diksriminatif sendiri. Di tataran lebih luas, bukannya sekarang banyak perempuan duduk di lembaga tinggi negara. Ada yang menjadi presiden, dokter, dosen, bupati, gubernur dan lain-lainnya. Kalau ada orang masih menyinggung ini, barangkali dia saja kurang maksimal mengelola kesempatan yang ada.
Semua tak ada soal selama tahu batas dan kodtartnya. Jangan sampai meniru di luar negeri, kaum feminis menggunggat wanita punya hak menjadi imam salat dan ritual dalam agama. Padahal itu bukan wewenangnya.
Saya sendiri membaca buku Bumi Manusia. Buku yang sudah tidak aneh di kalangan aktivis pergerakan. Namun di kesempatan tadi saya menyampaikan poin singkat, yakni kebebasan.
Buku Bumi Manusia mengajak kita menyelami sejarah bangkitnya bangsa kita. Bagaimana dulu kebebesan adalah harga mahal. Bebas itu tidak terkekang. Kita melakukan apa yang kita inginkan tanpa harus terkena teror.
Membaca Bumi manusia seperti melihat sejarah Indonesia untuk lepas dari kolonial itu tak mudah. Pers jadi awal edukasi pada penduduk. iItu pun tak mudah karena angka but harap sangat tinggi. Pribumi yang sekolah pun bisa dihitung jari, karena hanya golongan ningrat yang mampu.
Saya sampaikan pula, kita sepatutya anak bangsa bangga dengan Pram karena sampai saat ini baru beliau satu penulis nasional yang masuk nominasi nobel sastra dunia. Beberapa kali namanya muncul meskipun takdir berkata lain. Sejarah telah mencatat, namanya selangkah lagi mendapat nobel bergengsi.
Wajar sih kalau sampai beliau mendapat nobel karena bukunya sendiri sudah diterjemahkan lebih dari 80 bahasa dunia. Apa itu tidak luar biasa? Dari ribuan karya mampu bersaing dan mengalahkan hingga masuk nominasi.
Selain dua buku di atas, sempat pula dibahas buku Habib Husen bin Ja'far, Tuhan Ada di Hatimu. Buku ini mengajak kita menjadi hamba yang hakiki. Beragama tapi mampu memahami keberagaman. Beragama tadi meneduhkan. Mempilakan ketenangan bukan ketakutan akhirnya orang takut pada Islam itu sendiri.
Tentu saja memahami "Tuhan ada di Hatimu" harus dilandasi dasar agama yang baik agar tidak kebablsan. Kalau kita kaji gagasan Habib Ja'far ini tak jauh dengan Gus Dur, semangat menghormati perbedaan dan memahami keberagaman. Bedanya, Habib lebih ke milenial yang sudah akrkab dengan media.
Penutup
Gerakan tadi sore memang kecil dan sederhana. Gerakan kami anak muda Pandeglang membangun kembali semangat literasi. Akrab dengan buku. Mau menggali isinya, memahaminya dan sama-sama mendiskusikan. Tak apa, ini upaya kami untuk ikut menumbukan budaya melek literasi.
Kalau kata Mas Gong, kalau Syaikh Nawawi telah mengahrumkan Banten dengan karyanya maka kini harus ada generasi yang melanjutkan estafet perjuangan itu. Literasi digital perlu dibangun agar kita tidak menjadi generasi latah dengan perubahan zaman.
Semoga IBP Pandeglang lebih berkembang lagi dan bisa mencerahkan Pandeglang agar lebih bersinar lagi di kancah nasinoal. Tak hanya dikenal rampak beduknya tapi karya tulisannya. Syukur-syukur menjadi kota pelajar di Banten nantinya. Wallahu'alam. (***)
Pandelang, 6 Juli 2024 Â 23.17
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H