Mohon tunggu...
Mahyu Annafi
Mahyu Annafi Mohon Tunggu... Lainnya - Guru Ngaji

Hamba yang sedang belajar menulis, suka membaca dan menelaah berbagai pemikiran. Saya condong menulis ke dunia pendidikan, metal dan isu sosial. Angkatan ke 38 di Kelas Menulis Rumah Dunia (KMRD) di Serang. Sehari-hari berdagang dan menulis di blog.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Begini Rasanya Ditinggalkan Bapak

16 Juni 2024   14:09 Diperbarui: 16 Juni 2024   16:00 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: dokumen pribadi 

Ibunya wafat selagi ia lahir. Tak lama ia punya ibu sambung karena bapaknya menikah lagi. Beliaulah yang membesarkan dan menjaganya dari proses merangkak sampai keadaan sekarang, di mana  ia tumbuh menjadi wanita yang cantik lagi mandiri. Sholehah insya allah.

Dengan bapaknya itulah amat dekat. Wajar karena ia bungsu, curahan kasih sayang pun segenap keluarga tercurah padanya. Sedikit banyak berpengaruh pada mentalnya yang lumayan manja.

Ingat sekali saat pertama kali kenal denganya, saya berbicara agak keras--bukan marah atau membentak-- ia ngambek dan saya pun "di interogasi" kakak iparnya. Kenapa membentak dan berkata keras, ya saya jelaskan tak ada sedikitpun mau membentak, cuma ya saya biasa berkata begitu.

Dalam hati saya ingin tertawa tapi takut dosa. Lucu juga sih dan pastinya kaget, siapa pula yang membentak. Ya sudah, ini pengalaman pertama saya dekat dengan remtan usia wanita amat jauh dengan saya. Terlepas ia punya kekurangan, entah kenapa nyaman dibuatnya.

Bapaknya Wafat

Sebaik apa pun ibu sambung tetap saja ia wanita baru di hidupnya. Di saat tertentu ia sering menangis memendam rindu pada ibunya. Ia sering cemburu pada temannya yang punya ibu-ayah sempurna. ia ingin pula dipeluk, dimanja dan mengobrol renyah bersamanya.

Untuk mengobati rasa rindu itu ia sering ziarah ke pusara ibunya. Lama di sana memanjatkan doa dan sisanya menyampaikan curahan hatinya, kadang sampai berjam-jam. Sendiri dan sunyi bersama luapan hatinya. Rindu di jiwa.

Kalau ia curhat ke saya, kadang saya tak terasa ikut menangis. Berat pasti, untung ada bapaknya yang sangat perhatian dan ibu sambung yang sebernarnya amat baik pula. Tak jemu mensihatinya.

Umur siapa yang tahu, di saat ia tertatih bangkit ditambah penyakita asma yang didertanya yang kadang masuk keluar rumah sakit, bapaknya pun sama mudah sekali sakit-sakitan sampai mengantarkan di ajalnya. 

Kaget!

Itu yang saya rasakan. Kabar perginya bapaknya menurut saya pukulan telak untuk mentalnya. Di pikiran saya, bagaimana nanti dengannya. Rapuh dan gampang lelah sedangkan saya keksihnya terpisah jutaan kilometer dari rumahnya.

Apa yang bisa saya lakukan?

Menghiburnya dan menguatkannya. Wafatnya bapak bukan akhir segalanya. Apa itu mudah? Tidak sama sekali. Saya butuh berulang-ulang mengingatkan untuk kuat, bertahan dan bersabar dengan kenyataan. Semua karena Allah punya hikmah di balik itu. Hadapi apa yang terjadi.

Saya cinta pertamanya. Otomatis ia belum punya pengalaman soal laki-laki. Kalau saya, dikit-dikit mah ada. Di sinilah letaknya, ketika saya harus mendengarkan dan menguatkan pula. Setiap ia menangis rindu kedua orangtuanya, saya selalu bilang, yang sabar dan kuat. Terus begitu.

Saat Bapak Pergi

Setiap ia curhat soal ibu dan bapaknya saya salalu ringan mengatakan, harus kuat, harus sabar dan terima takdir ini sepahit apapun kenyataannya. Tugas hamba adalah menerima kehendaknya.

Semua berubah, saat saya sendiri merasakan kehilangan. Kehilangan bapak,  detik-detiknya pun amat sangat hafal. Saya menyadari, berujar itu mudah yang sulit itu menerima kenyataan.

Sumber: dokumen pribadi 
Sumber: dokumen pribadi 

Bapak perg tanpa riwayat penyakit apa-apa. Wafat seperti orang tidur saja. Ingat masa itu, saya terbengong sekaligus bingung melihat bapak wafat. Tak ada sakaratul maut. Masa iya bapak wafat, kan gak ada ciri jelas. Pikir saya begitu, di waktu itu.

Baik pas proses memandikan juga memasukan ke liang lahat. Rasanya baru kemarin. Saat itu, lemas tubuh saya. Air mata tumpah dengan durasi lama. Ternyata sabar itu tak mudah. Jadi malu dengan nasihat saya sendiri.

Kesimpulan

Dari kisah ia di sana dan kemudian saya rasakan, saya jadi banyak merenung soal hakikat hidup. Betapa selama ini saya punya persepektif soal kehilangan. Harus gini, harus begitu.

Ketika mengalami, rasanya sukar sekali. Kita menelan pil pahit, di saat yang sama seperti kehabisan air putih. Itu tak mudah.

Untuk itu, bersyukurlah saat ini kamu masih punya orang yang kamu sayangi, sayangi sebelum nanti menyesali. Lakukan apa yang terbaik agar hatinya tenang. Sungguh, mending kecewa sekarang daripada nanti saat raga tak ada lagi di dunia ini. Wallahu 'alam. (**)

Pandeglang, 13 Juni 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun