Tiga tahun lalu, adik saya mendaftar kuliah di kampus swasta lewat jalur KIP, dan dinyatakan lolos. Setelah itu mengikuti proses kelas seperti biasa.
Namun ia agak galau, dana yang dijanjikan pemerintah belum juga cair. Belum ada kabar pasti kenapa. Ditunggu satu semester, belum ada juga sampai dua semester sama pula.
Akhirnya pihak kampus pun, mau tidak mau meminta iuran per semester. Ia pun pontang-panting mencari dana, alhamdulillah terbayarkan.
Ternyata bukan hanya adik saya yang begitu, teman-temannya pun sama begitu. Cerita ke saya, mendaftar kuliah, sudah keterima dan menjalani proses belajar-mengajar.Â
Namun, ia harus mengurungkan mimpinya karena dana yang dijanjikan pemerintah belum juga cair, entah karena tersendat bansos. Entah tersendat aturan. Entah terbawa arus pancaroba. Entah apa yang terjadi. Resign dari status kampus!
Dua kisah pilu di atas yang sebenarnya, klise sih, adalah kenyataan. Dua kisah nyata bahwa apa yang dikatakan Ibu Anita kepada Pak Nadim benar adanya. Kenapa kemendikbud tidak intropeksi diri?
Jujur, saya merinding!
Itu kesan saya melihat arguementasi Ibu Anita Jacob yang dipaparkan di sidang DPR kemarin. Suara itu, ya suara kejujuran. Suara di mana rakyat ingin haknya, terutama saudara kita yang kurang beruntung di pelosok-pelosok bangsa.
Dapil Ibu Anita ini kan NTT, Â tentu kita bisa cari bagaimana kualitas pendidikan di sana. Tak sedikit bangunan yang ala kadar, kualitas guru apalagi sarana pra-sarana. Jangan bilang internet di sana.
Artinya dengan dana sekian triliun yang kemudian meminta tambahan dana lagi, lah, apa dengan kemendikbud?
Tentu saja, pertanyaan ini bukan untuk mempermalukan apalagi menghasut, akan tetapi wujud kita peduli. Akan di bawa ke mana nasib pendidkan bangsa kita.