Di sisi lain saya pun merasa, setelah mereka pulang, jiwa terasa tak baik. Entah kenapa saya merasa menyesal. Sikap saya kurang mencerminkan sikap guru yang baik. Guru yang harus menjaga akhlak dan mampu mengontrol emosi. Terlebih guru ngaji yang hafal petuah-petuah agamanya, apa pun sebabnya tak boleh labil.
Menjadi guru ternyata mengharuskan kita "harus banyak" belajar. Belajar menambah wawasan, menambah pengetahun, menambah kematangan emosi dan menambah apa yang selayak orang yang digugu layak ditiru.
Sebagai guru kita tak bisa meninggalkan sifat kemanusiaan kita, di saat yang sama harus jeli menempatkan sifat kemanusiaan kita. Maksudnya, kita bisa salah maka harus siap diluruskan. Oleh siapa saja, termasuk oleh orang di bawah kita.
Orangtua pun tak boleh pula menyerahkan kewajiban mendidik anak pada guru saja. Harus ada kerja sama yang baik, baik dari pihak orangtua. Begitupula sebaliknya.
Seusai salat isya, sunah dan ditutup witir, saya bermunajat pada Allah,
 "Ya Allah, hamba sudah melakukan apa yang selayaknya hamba lakukan sebagai guru pada mereka, maka mudahkan mereka mampu memahami apa yang hamba ajarkan." Cukup tersedu saya ujarkan.(**)
Pandeglang, 5 Juni 2024 Â 01.39
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H