Mohon tunggu...
Mahsus  Effendi
Mahsus Effendi Mohon Tunggu... Penulis - Saya gabut, maka saya membaca.

What a man is a man who does not make the world better

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Perhatikan Dunia Nyatamu, Bukan Dunia Mayamu

30 November 2020   01:43 Diperbarui: 21 Februari 2021   01:13 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.thenewleam.com/2018/01/dialogueconfessions-social-media-addict/

Menyadari realita toxic media sosial

Media sosial sebagaimana bisa kita sadari bersama hampir semua umat manusia yang hidup di era sekarang menjadi pengguna media sosial, kecuali mungkin mereka yang masih hidup di pedalaman-pedalaman hutan belantara yang mana tetap dengan gaya hidup survive primitif mereka. 

Namun sebagaian besar peradaban dunia saat ini, telah menggunakan jasa mudahnya berkomunikasi dengan orang-orang yang berjarak jauh maupun yang berjarak dekat dengan kita melalui media sosial.

Dahulu untuk berkomunikasi dengan orang-orang yang jauh jaraknya, kita membutuhkan waktu yang bisa dibilang cukup lama (jika kita ukur dengan cara berkomunikasi yang sekarang), sehingga hal itu juga yang memperlambat sampainya informasi kepada kita atau lebih-lebih ke seluruh penjuru dunia. 

Namun keterbatasan media tersebut, tidak menghentikan orang-orang terdahulu untuk tetap menjalin komunikasi mereka dengan orang-orang yang berjauhan jaraknya.

Jika kita merenung sejenak, dan mengingat betapa susahnya untuk membangun komunikasi jarak jauh pada zaman dahulu. Maka kita akan sampai pada perenungan bahwa adanya media sosial pada saat ini merupakan suatu anugrah yang besar bagi umat manusia. 

Namun disisi lain, belakangan muncul problematika baru yang seakan-akan menjebak manusia didalam mudahnya berkomunikasi menggunakan media sosial. Sesuatu yang seharusnya menjadi anugrah tersebut perlahan bergeser menjadi malapetaka tersendiri bagi kehidupan manusia.

Problemnya bisa dikatakan cukup kompleks dan beragam jika kita meruntutnya cukup jauh dari awal penyebabnya, baik itu ditinjau dari suatu sudut pandang keilmuan maupun beberapa sudut pandang sosial. Beberapa faktor penyebab yang paling mendasar diantaranya adalah, butuh pengakuan orang lain, kecemasan, menarik perhatian, unjuk diri dan lain-lain.

Mudahnya, mungkin bisa kita sepakati bersama bahwa dampak dari fenomena yang banyak dialami oleh orang-orang belakangan ini yang candu dengan media sosial yang paling sering kita jumpai adalah “ketidakpekaan sosial”. 

Dampak yang sering dimunculkan merupakan berkurangnya seseorang memperhatikan lingkungan sekitarnya, bahkan dirinya sendiri, ketika toxic media sosial itu sudah terasapi dalam diri individu.

Orang-orang menjadi kabur kepekaannya akan sosial dan realita yang ada disekitarnya karena telah terdampak demam media sosial. Lebih buruknya, bahkan mereka sampai disibukkan oleh kualitas tampilan media sosial mereka, dan menanggalkan kualitas hidup mereka di dunia nyata. 

Kemudian dampak ketergantungan terhadap media sosial perlahan juga mulai meredupkan identitas seseorang yang sebenarnya. Artinya, apa yang mereka anggap sebagai diri mereka di media sosial, juga mereka anggap sebagai diri mereka didalam kehidupan nyata.

Padahal, semua yang mereka anggap sebagai representasi dunia nyata mereka didalam media sosial adalah semu. Mengapa demikian? Silahkan anda mulai amati sendiri. 

Secara umum, siapapun itu tidak ada yang membatasi untuk menggunakan media sosial, namun jika tidak kita sendiri yang membatasi diri dalam menggunakannya, lalu siapa lagi? 

Memang tidak ada yang salah dengan mengekspresikan diri sendiri di media sosial, tidak ada yang keliru jika anda masih berada dalam batas kewajaran menggunakannya.

Didalam media sosial, semua orang dari berbagai macam kalangan bercampur aduk, begitupun standar sosial yang mereka konsumsi (lihat, suka, komen) membius mereka agar merealisasikannya dalam kehidupan nyata. 

Dimulai dari yang paling sering mereka konsumsi itulah, terkadang ketika mereka memproyeksikannya terhadap realita di kehidupan nyata, ada begitu banyak ketidaksesuaian. 

Maka tidak heran jika orang-orang belakangan ini merasakan ketidakpercayaan diri, insecure, tidak peka dengan lingkungan sekitar dan lain semacamnya.

Oleh sebab itu, marilah gunakan media sosial yang kita miliki dengan bijak. Mulailah dengan konsentrasi kehidupan anda, tujuan, cita-cita dan segala hal yang harus anda lakukan. Bangunlah sendi-sendi persiapan sematang mungkin untuk menghadapi dunia anda yang sekarang dan yang akan datang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun