“apa? kamu yakin?” suara Indy meninggi. Anak-anak di kantin menoleh kepada kami bersamaan. Seharusnya aku tidak mengatakannya kepada Indy sekarang. Terlalu banyak orang di sini.
“sssst ... biasa aja dong suaranya” aku sudah menduga reaksi Indy akan seperti ini, sama dengan teman-temanku yang lain. Tapi aku benar-benar ingin mengakhiri ini semua, mengakhiri masa kegelapan ini.
“siapa yang menyuruhmu melakukannya? Gery? Aku akan telpon dia sekarang?” repet Indy sambil mengelurakan telepon genggamnya.
“bukan ... “ jawabku sambil menekan kata-kata itu sekuat mungkin. “kalau memang seandainya dia yang menyuruhku, untuk apa kamu telepon dia?” tanyaku sambil memelototkan mataku meski aku tahu melakukannya hanya membuat wajahku tampak konyol. Mataku kecil dan tak cukup menyeramkan untuk menakut-nakuti Indy.
“aku akan bilang sama dia kalau kamu tak perlu melakukan ini Ti ... kamu akan terlihat konyol” ucap Indy tak kalah sengit dariku. “memang apa yang kamu dapatkan” Indy memberiku pertimbangan.
“aku sudah memikirkan semuanya ... dan satu lagi, jangan pernah memanggilku “Ti”. Panggil aku Ami, ucapkan A seperti A dalam bahasa Inggris” aku tekan ucapanku waktu mengatakan namaku.
“namamu kan Siti Aminah, ada yang salah kalau aku memanggilmu Siti” Indy menghela nafas sesaat “Ti ...ah bukan ... maksudku Ami ... untuk apa kamu melakukan ini semuanya, kamu sebenarnya sudah cantik, buat apa kamu mau pake acara nglurusin rambut segala. Apa memang Gery yang menginginkannya” Indy menurukan suaranya. Sekarang dia terlihat seperti Ibuku. Lemah lembut.
“aku kan tadi sudah bilang, bukan Gery. Dia bahkan belum tahu soal rencana ini” aku mengalihkan pandanganku ke arah teman-temanku yang lain. “loe lihat mereka!” aku biasa mengganti “kamu” dengan “Lu” untuk menegaskan sesuatu biar lebih jelas. “mereka cantik kan dengan rambut normal mereka, aku ingin seperti mereka Indy, yang tak perlu malu dengan rambutnya. Loe lihat rambut gue, kribo jelek, megar dimana-mana. Gue juga pengen cantik seperti mereka. Gue cewek ndy, gue juga pengen punya rambut normal dan terlihat cantik seperti yang lain” aku menjelaskan alasanku panjang lebar.
“oke gue terima alasan loe, tapi waktu loe bilang rambut loe gak normal gue gak setuju. Rambut loe normal senormal-normalnya. Dan siapa bilang loe jelek dengan rambut kribo loe, loe tuh can ....”
“loe mo bilang gue cantik? Loe mo bilang kalo cantik itu bukan hanya dari fisik, tapi dalam diri gue kan. Udah berapa kali loe bilang seperti itu ke gue ... loe tahu, puluhan kali ndy. Dan kata-kata loe dah gak ada nyawanya bagi gue. Loe hanya mau menghibur gue kan?”
Teeeeeeeeeeeet ... bel istirahat sudah habis. Kami harus pergi ke kelas masing-masing.
Aku tahu ini sangat tidak sopan memotong perkataan orang lain apalagi tak memberi Indy kesempatan untuk menjelaskannya lagi. Tapi aku yakin Indy hanya menghiburku. Apa yang mau di bilang cantik dari diriku, badanku kurus dengan dada kecil dan hampir rata, bukan langsing tapi kurus. Dalam pemahamanku langsing itu mengarah ke tubuh indah dan aku bukan kategori langsing tapi kurus. Aku terlihat seperti Ibuku tak memberiku makanan yang bergizi. Aku sama sekali tidak menarik. Bukan itu saja, tubuh kurusku diperburuk dengan rambutku yang kribo, memang tidak sekribo Ahmad Albar. Rambutku bertekstur keriting kecil yang kasar. Aku tak pernah membiarkannya terurai karena itu bisa membuatku terlihat seperti kemoceng. Bayangkan seorang gadis kurus dengan rambut hitam megar dan kasar. Jangan tanya apakah aku punya topi atau hiasan rambut semacamnya. Aku bahkan tak bisa memakai topi apapun karena topi itu tak akan muat.
***
Setelah aku memohon dengan sedikit memaksa akhirnya Indy bersedia menemaniku ke salon untuk melakukan pelurusan rambut. Aku kuras tabunganku untuk ini semua. Ibu tak akan memberikan uang untuk hal-hal semacam ini. Tapi demi penampilanku kali ini aku rela mengambil uang tabunganku. Gery masih belum tahu soal ini. Aku ingin memberikan dia surprise dengan rambutku. Aku akan terlihat cantik nantinya dan Gery pasti senang. Setelah menunggu antrian selama 30 menit akhirnya dimulailah proses itu, itu lebih dari sebuah proses pelurusan rambut tapi juga proses metamorfosisku menjadi gadis cantik. Aku merasa seperti Upik Abu yang sedang di sulap oleh Ibu Peri menjadi Cinderella yang cantik, bedanya aku bukan di sulap oleh Ibu Peri tapi seorang kapster. Aku tak mengenal salon ini sebelumnya. Aku kesini hanya karena biaya pelurusan rambutnya tidak terlalu mahal. Tidak ada yang benar-benar perempuan atau laki-laki di salon ini kecuali aku, Indy dan seorang kasir yang benar-benar perempuan tulen. Kapster yang melayaniku penampilannnya tak jelas. Rahangnya sangat laki-laki tapi bedaknya lebih tebal dari bedak nenekku. Bulu matanya sangat lebat dan panjang, mengerjap-ngerjap seperti unta kerasukan setan. Dia memakai T-shirt tanpa lengan dan membiarkan bulu ketiaknya menari-nari di sampingku. Yang lebih menjijikkan lagi, dia selalu menjulurkan lidahnya kalau ada laki-laki yang melintas di depan salon. Sebelum aku dilayani, Indy sudah memohon-mohon untuk pulang lebih dulu tapi aku paksa dia menemaniku di sini. Aku jelaskan ini demi masa depanku.
Aku tak pernah ke salon sebelumnya. Aku tak tahu kalu prosesnya selama ini. Aku hampir 3 jam di salon. Kata si kapster, rambutku terlalu kriting jadi memerlukan waktu yang lama untuk membuatnya jadi lurus. Itupun tidak benar-benar lurus, rambutku masih terlihat megar. Aku tak boleh keramas dulu selama 3 hari. Si kapster menyuruhku datang lagi minggu berikutnya untuk proses finishing agar terlihat lebih baik dan akupun menurutinya. Meskipun belum benar-benar lurus, setidaknya aku tampak jauh berbeda. Awalnya aku kaget karena sedikit tampak aneh. Tapi mungkin aku belum terbiasa.
***
Efek dari perubahanku begitu luar biasa. Tak ada orang yang tak menoleh jika aku lewat. Aku seperti gerobak siomay yang berjalan sendiri, tanpa membunyikan kentongan siomay, orang-orang sudah melihatku, lebih tepatnya berebut melihatku. Aku borong semua accecoris rambut, mulai dari pita, ikat rambut, jepit, topi ala ratu Inggris, sampai topi pantai yang sangat lebar. Aku memakai semua itu. Ya .. semuanya. aku bebas memakainya. Dan semuanya pas di kepalaku.
Aku menikmati masa keemasaanku, ooh tidak tidak. Bukan masa keemasan tapi masa perubahanku ... ya masa perubahan dari masa kesuraman dari penampilanku yang dahulu. Indy yang dulu keukeuh menolak perubahan ini, sekarang hanya bisa tersenyum dan mengagumi kecantikanku. Akhirnya aku menang melawan penampilan burukku. Tapi aku harus menjadi lebih sibuk dengan diriku sendiri.
“Amiii .... mau kemana?” Indy berlari ke arahku sambilberteriak-teriak memanggilku.
“mau pulang, rambutku lepek banget nih. Aku mau keramas, pakai conditioner, pakai hair mask .... pakai....”
“loe kenapa sich? ... dulu loe nggak gitu-gitu amat deh” kata Indy heran.
“itu dulu nenek gambreng, sekarang kan gue dan berubah, gue harus ngrawat rambut gue biar lebih bagus lagi”
“eh nenek-nenek bertato ... sekarang loe tuh jadi aneh, ngurusin rambuuuut mulu. Sekolah sering telat, latihan basket jarang, pengen buru-buru pulang, PR sering lupa dikerjain, suka cari-cari alasan, dan satu lagi ... loe kok makin sering masuk angin” Indy ngomong panjang lebar.
“yah si nenek, kemana aja loe. Namanya juga perubahan, pasti ada pengorbanannyalah.” Tapi bener juga kata si Indy, kenapa aku jadi begini yah. Ah mungkin aku belum terbiasa dengan ini. Semua akan baik-baik saja.
Tampaknya semuanya baik-baik saja kecuali Gery. Hanya dia yang terlihat aneh ketika melihat penampilan baruku. “Aaaah itu hanya sementara, nanti juga akan terbiasa” pikirku.
“Gimana Sayang penampilan baruku, cantik kan?” tanyaku saat kami makan malam minggu kemarin.
“mmmm ya .... ya ... cantik ... sangat cantik“ jawab Gery datar. Aku tahu suara Gery datar saja. Tapi aku pikir dia hanya terkejut dengan penampilanku. Ya ... semua akan baik-baik saja.
***
Sebenarnya aku tak enak badan hari ini, tapi karena ada ulangan fisika aku paksakan untuk masuk. Aku sangat kedinginan tapi badanku panas. Aku duduk di depan cermin dengan alat catok rambut di tangan kananku. Ini sudah lebih dari 4 bulan. Kerja dari obat pelurus rambut sudah hilang. Tapi efek buruknya masih ada, rambutku makin sering rontok. Tabunganku sudah habis untuk perawatan bulan lalu. Aku memutuskan mencatok rambutku tiap hari untuk mempertahankan kelurusannya. Aku harus bangun lebih pagi agar bisa mencatok rambutku, merapikannya dan pergi ke sekolah tanpa terlambat. Sesekali aku terlambat karena telat bangun. Aku tak mau terlihat kribo lagi seperti dulu. Aku tak mau terlihat jelek seperti dulu.
Mencatok rambut bukannya tak berefek. Alat ini membuat rambutku rusak. Aku harus berada di kamar mandi lebih lama dari biasanya untuk melakukan perawatan rambut di rumah. Aku jadi sering tidak mengikuti kegiatan ekskulku hanya ingin cepat-cepat pulang untuk memasker rambutku atau sekedar mengoleskan pelembab. Kerja alat catok hanya beberapa jam saja, setelah itu rambutku kembali seperti semula dan itu yang lebih membuatku ingin cepat pulang. Sekali lagi aku tak mau terlihat jelek dengan rambut kriboku. Tidak hanya itu, minggu lalu aku tak bisa mengikuti perlombaan basket. Ini penting bagiku karena dalam perlombaan inilah aku akan di seleksi untuk mengikuti olimpiade olahraga SMA se – Provinsi. Aku tak bisa ikut karena aku sakit. Aku terlalu lama di kamar mandi untuk mengurusi rambutku dan akhirnya aku masuk angin. Aku menggigil semalaman tapi suhu badanku tinggi.Kadang aku tak sempat sarapan karena terlalu sibuk dengan alat catok dan rambutku. Semua harus dilakukan.
Aku sisir rambutku perlahan agar rambutku tak banyak yang terbawa. Bibirku tampak lebih pucat dari tadi pagi. Aku pakai lip gloss untuk menyamarkannya. Pada olesan yang terakhir tiba-tiba perutku terasa sakit. Sakit sekali. Perutku seperti ditusuk-tusuk ribuan paku lalu diinjak oleh kaki-kaki besar. Perutku seakan-akan melilit sendiri. Keringat dingin membanjiri sekitar leherku. Kepalaku pusing.
“Ami ... sudah ditunggu Gery tuh di luar. Jangan lama-lama ya?” samar-samar aku dengar suara Ibuku. Beberapa detik sepi. Mungkin karena aku tak menjawab, ibu bicara lebih keras lagi
“Jangan lama-lama dandannya sayang, sudah ditunggu Gery di luar, nanti kamu telat” karena tak ada jawaban, Ibu langsung membuka kamarku dan menemukannku sedang meringis memegang perut.
“Kamu kenapa sayang ....” ibu mendekatiku.
“Perut Ami sakit maa” itulah ucapanku yang terakhir. Aku sudah tak ingat lagi. Sesaat aku sadar aku berada di ambulans, tapi setelahnya aku tak ingat lagi.
***
Tempat yang paling membosankan adalah rumah sakit. Bukan karena aku tak punya kerjaan disini, tapi karena aku tak bisa mencatok rambutku. Eee tetep yah harus tampil cantik meski lagi sakit. Aku harus istirahat selama beberapa hari di rumah sakit. Ini hari pertamaku disini. Buru-buru aku sms mama untuk tak lupa membawa alat catokku.
Ke: Mama
“Ma ... kesini jam berapa?Jgn lupa bawa catokan rambutq dikamar.semua alat ada ditas coklat”
Terkirim:
Mama
+6287888888888
___________________________________________________________________________
Dari: Mama
“ Hah ..?????emang disuruh dokter bawa catokan ya, setahu mama dokter kamu kan laki-laki”
Pengirim:
Mama
+6287888888888
___________________________________________________________________________
Ke: Mama
“Dieeeeeng(sambl guling-guling).catokannya bwt ami ma bkn bwt dokter abdul”
Terkirim
Mama
+6287888888888
___________________________________________________________________________
Dari: Mama
“Kamu kan lagi sakit sayang,jangan guling-guling dong, kamu tuh sakit gara2 sering nyatok rambut trus lupa makan.sakit kebanyakan dandan tuh cuma kamu.gimana klo temen arisan mama nanti jenguk,malu-maluin mama aja.gak ada acara catok rambut”
Pengirim:
Mama
+6287888888888
___________________________________________________________________________
Ke: Mama
“ya mama.ntar rambut ami kribo lagi ma,jeleeeek”
Terkirim
Mama
+6287888888888
___________________________________________________________________________
Dari: Mama
“zzzzzzzzzzzzzzzz”
Pengirim
Mama
+6287888888888
Bersambung ....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H