Mohon tunggu...
Mahriani Ani
Mahriani Ani Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang Ibu yang belajar tentang arti kehidupan

Jangan lupa like, comment, dan share

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ibu Sekolah Pertamaku

5 Desember 2020   08:43 Diperbarui: 5 Desember 2020   08:44 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sejak dalam kandungan aku selalu ikut ibu. Bersepeda rutin pulang pergi setiap hari adalah hal pertama yang paling menyenangkan bersama ibu. Saat itu ibuku adalah guru di salah satu sekolah dasar negeri di kampung. Keberadaanku dalam perutnya tak pernah menjadi alasan baginya untuk berhenti mencerdaskan anak bangsa. Ibuku memang seorang pahlawan tanpa tanda jasa.

Hingga tiba aku dilahirkan, aku terpaksa harus sering ditinggalkan.

Sangat menyedihkan rasanya. Disaat aku mulai bisa bicara, aku selalu menangis dan menolak dengan keras berusaha memberitahu ibu bahwa aku tidak pernah mau ditinggal. Tak jarang akhirnya ibu membawaku serta naik sepeda. Mempersiapkan segala perlengkapan dan mengatur situasi dan kondisi hingga keberadaanku tidak mengurangi waktu mengajarnya disekolah. Ibuku memang hebat.

Begitu seringnya aku mengikuti ibuku berinteraksi dengan murid-muridnya di sekolah, membuatku akhirnya berhasil menjadi murid termudanya.

Aku mampu mengenal serta meramu huruf dan angka lebih cepat bila dibandingkan dengan teman-teman sebayaku. Sangat mudah dimaklumi karena aku selalu mengikuti ibuku yang juga adalah guruku. 

Betapa beruntungnya aku, memiliki guru yang membersamaiku hingga pulang ke rumah. Segala hal pertama dalam hidup, kupelajari dari ibu. Tidak hanya kemampuan mengucap kata, mengenal huruf dan angka, termasuk juga teknik menyelesaikan pekerjaan rumah hingga menuntaskan amanah sebagai guru di sekolah.

Ibu selalu melibatkan aku dalam menyelesaikan pekerjaannya. Sangat bangga hatiku, ketika ibu memuji segala pertolonganku untuknya.
Hubungan kami semakin dekat. Ibuku tidak mempunyai putri lain selain diriku. Apakah hal ini yang membuat kami leluasa saling mencurahkan isi hati, entahlah.

Bercerita tentang banyak hal pada Ibu adalah hal menyenangkan ke dua setelah dibonceng dengan sepeda.

Sejak dibangku SMA, ayahku telah tiada. Ayah telah kehilangan kebugaran sejak waktu yang lama. Ibu mengajariku makna kesetiaan, pengabdian dan pentingnya bersikap hormat pada suami. Ibuku berjuang sendiri, membiayai kuliahku hingga aku berhasil meraih gelar sarjana pendidikan di salah satu universitas negeri di kota. Ibulah yang mengajariku bagaimana cara mengelola rindu. Ini juga menjadi pelajaran berharga yang menjadi bekal penting bagiku dalam menjalani kehidupan baru dimasa mendatang.

Ternyata setelah menikah, aku harus ikut bersama suamiku merantau di tempat yang sangat jauh dari Ibu. Membangun rumah tangga di pulau yang berbeda, membuat pertemuanku dengan Ibu menjadi peristiwa yang boleh dibilang langka. Aku sangat merindukannya.

Kini ibuku telah tua dan sangat tua. Menempati rumah di mana dulu ia membesarkan kami anak-anaknya. Tak mau ia meninggalkan rumah penuh kenangan itu.

Ia memilih untuk tetap menghabiskan waktunya bersama bayangan indah masa lalu.

Kini kami berpisah raga.

Namun Ibu tak pernah berhenti menjadi tempat terbaik bagiku untuk meraih berbagai ilmu.
Ketegaran, keteguhan, kesabaran, kecekatan, kepedulian, ketulusan adalah ilmu berharga yang sampai kini harus terus kupelajari.

Berkali-kali Ibu membuktikan cintanya. Disaat tak ada yang mampu memberikan pertolongan padaku yang tengah diuji diperantauan, Ibuku adalah malaikat itu.

Pernah suatu ketika, usaha diperantauan tak kunjung menghasilkan uang dalam hitungan waktu berbulan-bulan.

Tak tau lagi ingin meminta pertolongan pada siapa, akhirnya kondisi itupun kami beritahukan pada Ibu.

Ibuku dengan sigap dan senang hati mengirimkan isi tabungannya untuk menopang hidup kami. Aku dan suami tak mampu berkata lagi. 

Cucuku harus sekolah yang baik disana. Hanya itu pintanya.

Pernah juga, aku lemah tak berdaya dan hampir kehilangan separuh nyawa. Saat itu anak sulungku masuk ICU. Aku membutuhkan jutaan do'a.

Do'a untuk keselamatan putraku dan do'a untuk kemudahan akan segala urusan pengobatannya. Do'a Ibulah yang pertama melesat bagai lepasan anak panah cahaya yang menembus kegelapan. Dengan segala kegundahan Ibu tetap mendampingiku agar ikhlas dan tegar.
Ibu memang sosok luar biasa yang tidak akan pernah bisa digantikan.

Ibu jugalah yang telah mempersiapkan diriku menjadi sosok Ibu buat anak-anakku. Namun aku tak pernah tau apakah aku akan mampu menjelma menjadi sosok luar biasa seperti dirinya.

Ibuku, sekolah pertamaku yang akan selalu ku rindu. Padamu Ibu, baktiku ku persembahkan walau ku tau takkan pernah cukup membalas segala jasa dan pengorbanan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun