Aku sangat tidak setuju, Saufa. Kau tahu kenapa? Sebab, paska perkara itu kini perempuan yang dipersalahkan. Perempuan tidak boleh menyeduh kopi lantaran ketakutan, kecemasan lelaki yang menjadi-jadi. Siapa sudi tubuh perempuan disentuh banyak lelaki? Namun bagaimana dengan racik kopi dan seduhan arah putaran jam 33 kali? Lantas siapa pula yang memilih aroma semerbak sebagai peneman sepinya hari dengan seseruput kopi? Ah....
***
Kau justru meyakini bahwa berbalik arah akan menentukan segalanya. Pamanmu---peracik kopi terkenal di kapal pesiar Van Hel Resteo itu memutuskan mengajakmu untuk menemaninya. Ia akan menunjukkan bagaimana caranya menghasilkan aroma kenikmatan kopi dalam setiap tetesannya dari coffeemaker grinder yang mungil. Menetes dengan penuh kesabaran di dalam cangkir-cangkir yang kesepian. Dengan penuh kesabaran kau menghaluskan kopi-kopi yang sudah dipilih pamanmu itu melalui coffee mini portable, kemudian siap kau racik dengan beberapa hela napas dan mengaduk hingga tuntas.
Mengikuti pamanmu bekerja di kapal pesiar Van Hel Resteo itu sebenarnya sudah mimpimu lebih dulu. Mimpi yang tak pernah direstui ibumu. Meski saat itu kau belum mampu berbahasa Belanda. Kerap ketika sekawanan pamanmu mengajakmu bercakap, pamanmulah sebagai penerjemah yang setia. Lamat-lamat kau mahir bercakap dengan mereka. Penuh piawai kau dayu nada yang gemulai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H