Mulanya kau hanyalah membantu ibumu memanen kopi di kota Menggala. Mengumpulkan kopi-kopi yang sudah menua. Ketika lekat senja dilengkungkan takbir gulita, kau masih tampak asyik menulis cerita-cerita masa lalu. Cerita yang tersulam dengan getir ngangah meski kau tak pernah tuntas mengakhirinya. Sesunyi apakah penantian yang tak pernah lunas? Perlahan kau teringat sekerat kenangan, kisah manis bersama kekasih yang tak pernah datang menemuimu. Padahal ia sudah janji, bahwa ia akan kembali dari kota---bekerja ketika rembulan tepat di atas ubun kuburan bapakmu. Ia akan nyekar ke kuburan bapakmu sebelum kau mengikat---menikahi.
Namun ketika takbir saling bersahutan, kemudian orang-orang mengemas kenangan, kesedihan, luka, dan keresahan dengan cara mengirim doa-doa dan membersihkan kuburan orang tercinta---mendahuluinya. Saat itu juga kalian saling bersalaman, saling memaafkan kenangan. Namun kekasih yang kau idamkan tak kunjung datang, bahkan tak akan pulang di hari raya yang sudah kau lingkari lebih dulu di penanggalan---tanggal-tanggal ganjil yang kau nantikan.
***
Sedari kecil kau memang sudah mencintai kopi. Ibumu menduga bahwa kau memiliki bakat, namun ia tidak sepakat jikalau kau menjadi barista. Kau tahu alasannya? Barangkali ibumu sudah menerka bahwa kau akan mengalami nasib serupa yang ia kira. Pengalaman belasan tahun yang lalu sebelum kau dilahirkan. Getir yang mendurja, ditinggalkan kekasih seusai direnggut keperawanannya.
Diam-diam kau belajar meracik kopi sedemikian rupa kepada barista kawan ibumu. Belajar meracik kopi selama tiga tahun tidaklah singkat dan mudah. Kakekmu adalah pemanen kopi, pun peracik kopi yang sangat digemari banyak orang. Tentu, kopi seduhannya sangat nikmat dibandingkan seduhan orang lain. Kopi pekat melintingkan kenangan yang sekarat. Sebelum kakekmu meninggal, dan memberikan wasiat kepada paman dan ibumu; cara menyeduh kopi yang baik dan benar---membubuhi mantra, saat itu pula ibumu mengemas dengan air mata.
Ibumu tak kuasa menahan kesedihan. Mengapa justru kakekmu meminta---kelenturan tangan itu menurun ke pamanmu, bukan ke dirinya. Ahh, andai saja ibumu adalah lelaki, pasti ia mampu mewarisi bagaimana cara meracik kopi. Seperti apa menyeduh kopi yang lezat untuk suami. Serupa apa pula cara mengaduk kopi dalam putaran 33 kali. Memang, saat itu hanya lelaki saja yang diperbolehkan memanen atau meracik kopi. Kau tahu kenapa, Saufa? Karena perempuan selalu membawa luka, sementara menyeduh kopi membutuhkan kedamaian dan cinta.
Ketika kau seusiaku, ada perempuan yang cantiknya melenggangkan pesona. Banyak mata lelaki tertuju kepada kemolekan tubuhnya. Ia menyeduh kopi di sebuah kedai tepi dermaga Bakauheni. Perempuan itu berpenampilan sangat menggairahkan. Mencium parfum semerbak berlebihan yang melepas ke angkasa, semacam menari di atas desahan gelombang laut yang menggaramkan kenangan.
Ketika lelaki mencium aroma parfum perempuan itu, maka ia akan terikat dengan segala pinta. Mulanya perempuan itu tiada maksud apa pun, ia hanya menggantikan bapaknya yang terpaksa istirahat lantaran sakit. Iya, kerap sekali lelaki genit itu menyentuhnya hingga pada akhirnya perempuan itu merasa kotor dan geram. Ia merapal dendam dalam-dalam. Kemudian perlahan ia mengatur bagaimana cara untuk menghindar dari lelaki hidung belang.
Pada suatu malam, datang kembali beberapa lelaki yang sama. Lelaki yang kerap menyentuh dan merabanya. Ia tetap waspada, namun ia tidak mampu mengelak, bahkan ia pun tidak mampu berteriak. Konon, pelaut-pelaut itu berkuasa dan menjadi sangat bedebah di dermaga Bakauheni, kepada perempuan muda. Perempuan-perempuan yang didurjakan keperawanannya, setelah itu ditinggalkan.
Perempuan itu pergi ke belakang. Ia menyeduh kopi secara perlahan dengan adukan arah putaran jam. Kemudian ia telah memasukkan racun yang semula ia beli untuk meracuni tikus yang mengacaukan kedainya. Ia masukkan di beberapa cangkir kopi. Ia aduk kembali dengan putaran 33 kali arah putaran jarum jam bersama kopi yang siap meradang. Sambil menemani lelaki-lelaki, perempuan itu mengibas-ngibas dadanya yang memanas.
Mereka meminumnya sampai tandas. Menikmati hingga tuntas. Mereka tewas. Setelah kejadian itu, ia melarikan diri di suatu tempat yang tak satu pun orang mampu menemukan. Ah, ia kembali mengingat sekerat kenangan dalam waktu yang sangat panjang, hingga ia sekarat. Terpenting dendamnya telah terbayar lunas, puas. Namun ia selalu dihantui kecemasan yang tak mampu ditebas.