Interprestasi P3B
- Pendekatan yang digunakan oleh Pengadilan di Berbagai negara dalam Interprestasi P3B
Diselesaikan melalui pengadilan Pajak - Ketentuan interprestasi dalam Hukum Internasional Publik
Tiga Pendekatan utama dalam melakukan interprestasi atas suatu perjanjian internasional yaitu:
- Pendekatan subjektif, interprestasi dilakukan dengan melihat kehendak dari para pihak dalam perjanjian
- Pendekatan tekstual, interprestasi dilakukan dengan melihat makna yang lazim dari teks dalam perjanjian
- Pendekatan teleologis, interprestasi dilakukan dengan melihat maksud dan tujuan dari suatu perjanjianTiga Pasal yang berkaitan dengan ketentuan interprestasi dalam Vienna Convention On The Law of Treaties (VCLT)
- Pasal 31Â mengatur tentang pendekatan umum dalam melakukan interprestasi dan juga memuat beberapa ketentuan khusus
- Pasal 32 mengatur tentang prosedur tambahan sebagai pelengkap dalam melakukan interprestasi
- Pasal 33Â mengatur tentang tata cara interprestasi dari suatu perjanjian internasional yang menggunakan berbagai Bahasa yang berbeda - Alat bantu Interprestasi P3B
- Alat bantu ekternal dalam interprestasi P3B seperti OECD Commentaries, Putusan pengadilan di negara lain, paraller treaties
-Â Alat bantu internal dalam interprestasi P3B seperti OECD Model dan UN Model
Kebijakan P3B di Indonesia.
- Subjek Pajak yang dicakup dalam P3B
Pasal 1 Model P3B Indonesia menyatakan bahwa P3B berlaku terhadap orang dan badan yang menjadi penduduk salah satu atau kedua Contracting States. Untuk keperluan P3B, berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Model P3B Indonesiayang dimaksud dengan "penduduk suatu contracting state" adalah setiap orang/badan yang menurut perundang-undangan negara tersebut, dapat dikenakan pajak dinegara tersebut berdasarkan:
- Domisilinya
- Tempat kediamannya
- Tempat kedudukan manajemennya, atau
- atas dasar lainnya yang sifatnya serupa - Perpajakan atas BUT
Lebih dari 100 tahun konsep Permenanet Establishment (PE) atau Bentuk Usaha Tetap (BUT) diakui keberadaannya dalam hukum internasional.Konsep BUT ini pertama kali digunakan pada P3B austria atau Hungaria dan prusia pada tahun 1899 (Betriebsstatten)
Konsep BUT memiliki peranan penting terkait pemajakan atas laba usaha yang diperoleh suatu perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya secara lintas batas. Laba Usaha hanya dapat dipajaki di negara domisili perusahaan tersebut, kecuali perusahaan tersebut mempunyai hubungan yang erat dengan negara tempat laba usaha tersebut diperoleh.
Hubungan yang dimaksud terbentuk saat perusahaan tersebut menjalankan kegiatan usahannya dinegara sumber penghasilan melalui suatu BUT, artinya negara sumber penghasilan tidak memajaki laba usaha yang diperoleh subjek pajak luar negeri, tanpa adanya BUT di negara sumber penghasilan. - P3B atas Laba Usaha atau Business Profits
Terkait pemajakan atas laba usaha,negara sumber dari laba usaha dan negara domisili dari subjek pajak yang memperoleh laba usaha sama-sama berhak memajaki laba usaha tersebut. Secara konseptual, Pasal 7 mengatur bahwa laba usaha hanya dikenakan di negara tempat perusahaan yang memperoleh laba usaha tersebut menjadi subjek pajak dalam negeri.
Namun berdasarkan prinsip BUT yang berlaku secara umum, Pasal 7 juga mengatur apabila subjek pajak dalam negeri dari suatu negara (negara domisili) menerima laba usaha dari negara sumber melalui BUT yang berada di negara sumber tersebut, negara sumber juga boleh mengenakan pajak atas laba tersebut.
Dengan kata lain, negara sumber mempunyai hak pemajakan atas laba usaha apabila subjek pajak dalam negeri dari negara domisili mempunyai BUT di negara sumber penghasilan. - P3B atas Penghasilan Kegiatan Pelayaran, Transportasi Perairan Darat & Penerbangan
Ketentuan hak pemajakan atas penghasilan dari kegiatan pelayaran dan penerbangan dijalur internasional serta kegiatan transportasi perairan darat telah berevolusi dari ketentuan dalam perjanjian dagang dan navigasi hingga digabung dengan ketentuan pemajakan atas laba usaha dalam Draft 1927 dan kemudian dipisah dalam draft 1935 dari draft LBB.
Dalam perkembangannya,rumusan prinsip pemajakan atas penghasilan ini telah mengalami beberapaperubahan, diantaranya hak pemajakan sepenuhnya diberikan kepada negara tempat real centre of management dari perusahaan yang melakukan kegiatan tersebut. Kemudian, hak pemajakan diberikan sepenuhnya kepada negara domisli dari perusahaan ayng melakukan kegiatan hingga pembagian hak pemajakan di antara dua negara yang menandatangani P3B. - P3B atas Dividen
Dalam skema internasional, pembayaran dividen tidak hanya melibatkan satu negara, melainkan dapat melibatkan dua atau lebih negara yang memiliki ketentuan pengenaan pajak atas dividen yang berbeda. Dengan memanfaatkan ketentuan pengenaan pajak yang berbeda inilah, peluang perencanaan pajak atas dividen lebih mudah diciptakan.
Pada praktinya , ketentuan pengenaan pajak atas dividen dalam skema internasional sangat mungkin menimbulkan pengenaan pajak berganda. Hal ini terjadi apabila negara domisili dari pihak yang membayarkan dividen menerapkan prinsip pemajakan territorial, sedangkan negara domisili dari pihak yang menerima dividen (negara domisili) menerapkan prinsip pemajakan worldwide income. Dengan dimikian, kedua negara tersebut mengklaim mempunyai hak pemajakan atas dividen tersebut. - P3B atas Bunga
Atas transaksi pinjaman yang terjadi secara lintas batas negara, sangat memeungkinkan terjadinya pajak berganda secara yuridis. Â Ketentuan mengenai penghindaran pajak berganda atas penghasilan berupa bunga telah dirumuskan dalam Pasal 11 OECD Model. Tetapi di pasal ini tidak memberikan alokasi hak pemajakan atas bunga secara eksklusif, baik kepada negara sumber penghasilan maupun negara domisili.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!