Secara etimologis, ada pendapat yang mengatakan kata pajak berasal dari bahasa Jawa, ajeg. Pada masa  kolonial, pemerintah menarik pajak tanah setiap tahunnya dengan jumlah tetap (ajeg). Seiiring berjalannya waktu kata  ajeg bergeser pengucapannya menjadi pajeg yang kemudian diserap oleh bahasa Indonesia menjadi pajak. Pendapat lain mengatakan, pajak berasal dari bahasa Belanda pacht, yang berarti sewa tanah yang harus dibayar penduduk.
Pajak adalah produk politik salah satu bentuk interaksi antara negara dengan warganya. Sistem politik pada negara Islam awal yang dipraktikkan Nabi (dan para khalifah setelahnya) tak akan pernah ditemukan yang sama persis pada negara manapun di zaman sekarang ini, karena itu jika pajak hanya diterjemahkan secara dzahariyah, tentu tak akan pernah ditemukan pada masa Nabi.
Adapun penetapan pajak disamping zakat, apabila tidak ditemukan sumber keuangan untuk memenuhi suatu kebutuhan negara kecuali dengan adanya penetapan pajak maka boleh memungut pajak bahkan hal itu menjadi wajib dengan syarat kas Bait al maal (kas negara) kosong. Pengalokasian dan pendistribusian dengan cara yang benar serta adil berdasarkan penjelasan diatas mengenai pajak yang adil didukung oleh Umar Ibn Al-Khathtab Radiallahu 'anhu.
Dalam Hukum Islam, Penghindaran pajak didasari atas dalil-dali sebagai berikut:
- Dalil umum, semisal firman Allah.
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil" {QS. An-NIsa ayat 29}.
Dalam ayat diatas Allah melarang hambanya saling memakan harta sesamanya dengan jalan yang tidak dibenarkan dan pajak adalah salah satu jalan yang batil untuk memakan harta sesamanya. - Dalil secara khusus, ada beberapa hadits yang menjelaskan kehamaraman Pajak dan ancaman bagi para penariknya, diantaranya bahwa Rasullah Shallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Sesungguhnya pelaku atau pemungut pajak (diadzab) di neraka" {HR. Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah:7}
Hadist ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dan beliau berkata :"Sanadnya bagus para perawinya adalah perawi (yang dipakai oleh) Bukhari-Muslim, kecuali Ibnu Lahi'ah ; kendati demikian, hadist ini shahih karena yang meriwayatkannya dari Abu Lahi'ah adalah Qutaibah bin Sa'id Al-Mishri". - Selain itu Adz-Dzahabi dalam Al-Kabair dengan komentarnya,
"Pemungut pajak adalah salah satu pendukung tindak kezhaliman, bahkan dia merupakan kezhaliman itu sendiri, karena dia mengambil sesuatu yang bukan haknya dan memberikan kepada orang yang tidak berhak".
Inilah kondisi riil yang tersebar luas dipelosok dunia ketika Islam telah berkembang. Berbagai pajak yang tidak wajar diwajibkan oleh beberapa pemerintahan pada saat ini di tengah-tengah manusia dan atas kaum fakir, khususnya kaum muslimin. Kemudian Pajak tersebut disetorkan kepada para pemimpin, penguasa, dan kalangan elit yang pada umumnya digunakan untuk memenuhi syahwat dan kesenangan mereka dan hal itu tertuang dalam berbagai protokol resmi kenegaraan ketika menerima tamu dari kalangan raja dan pemimpin. Demikian pula pajak tersebut dialokasikan untuk mendanai berbagai pesta dan festival yang didalamnya terdapat kemaksiatan dan minuman keras, mempertontonkan aurat serta kegiatan batil lainnya yang jelas membutuhkan biaya mahal.
- Selanjutnya Mengutip pernyataan Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi
"La yadkhulul jannata shahibu maks. Tidak akan masuk surga orang yang menarik pajak dan bea cukai. Antum mau masuk surga atau tidak? Diriwayatkan oleh Abu Daud dan dishahihkan oleh banyak para ulama. Kalau anda ingin masuk surga, resign"