Mohon tunggu...
Mahmud Khabiebi
Mahmud Khabiebi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Manusia paling beruntung sedunia, suka menulis

Baru lulus kuliah S1 Bahasa dan Kebudayaan Jepang Universitas Diponegoro

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nyadran, Festival Arwah ala Orang Jawa

4 Maret 2023   21:38 Diperbarui: 4 Maret 2023   21:45 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Etnis Tionghoa merayakan bulan ketujuh dalam kalender china sebagai bulan hantu. Ada kepercayaan bahwa pada bulan tersebut arwah orang yang meninggal dapat berkelana di dunia manusia. Ritual sembahyang dilakukan pada pertengahan bulan ini. Perayaan bulan hantu juga sempat ditampilkan dalam serial Upin & Ipin.

Di belahan Bumi yang lain, ada perayaan festival kematian atau Dia de los Muertos yang diselenggarakan di Meksiko setiap tanggal 31 Oktober. Dalam perayaan ini masyarakat Meksiko turun ke jalan dengan riasan tengkorak yang menyimbolkan orang mati. Mereka bernyanyi dan menari bersama seperti yang ditampilkan dalam film Coco.

Indonesia memang tidak memiliki festival serupa. Namun di beberapa wilayah ada ritual tahunan yang diselenggarakan khusus untuk mengingat arwah orang yang sudah meninggal. Suku Jawa adalah salah satunya.

Suku Jawa memiliki sistem penanggalan sendiri yang merupakan campuran dari sistem penanggalan arab dan hindu. Bulan kedelapan dalam penanggalan Jawa disebut Ruwah yang berasal dari kata arwah.

Orang Jawa kebanyakan percaya bahwa bulan ini adalah bulan terbaik untuk mendoakan arwah sesepuh dan sanak saudara. Kata Ruwah, menurut Raden Tumenggung Tondonagaro, budayawan yang juga abdi dalem Keraton Surakarta, berasal dari frasa "Meruhi Arwah" yang artinya mengunjungi arwah. Dipercaya pada bulan ini para arwah menanti-nanti kunjungan dan kiriman doa dari sanak saudaranya.

Masyarakat di beberapa wilayah di Pulau Jawa hingga kini masih menyelenggarakan perayaan arwah di bulan ini. Berbeda dengan perayaan di Meksiko yang penuh hingar bingar tarian dan nyanyian, perayaan arwah masyarakat Jawa diisi dengan kegiatan mengunjungi makam leluhur, membersihkannya, lalu mendoakan keselamatan mereka di alam sana.

Terpisah dari ritual mendoakan arwah leluhur, biasanya ada kenduri yang diselenggarakan di depan masjid. Orang-orang menyebutnya tradisi Nyadran.

Rangkaian acara Nyadran biasanya diisi tahlilan bersama dan dengan ceramah dari ustadz atau kiai setempat kemudian ditutup dengan pembagian nasi berkat.

Ada beberapa versi mengenai rangkaian acara Nyadran ini. Beberapa tempat, termasuk kampung saya melaksanakan Nyadran dengan rangkaian acara di atas. Di tempat lain ada yang pelaksanaan acara intinya di makam. Daerah Yogyakarta yang biasa melaksanakannya. Di sana setelah acara bersih makam selesai, masyarakat bersama-sama berjalan menuju makam sembari membawa makanan yang nantinya dibagikan dan dimakan bersama di area makam.

Perayaan Nyadran masih rutin diselenggarakan di kampung-kampung di Kabupaten Magelang. Setiap kampung sudah memiliki jadwal paten terkait waktu pelaksanaan tradisi ini. Kampung saya misalnya, setiap tahun pasti mengadakan Nyadran pada hari minggu pertama bulan Ruwah. Kampung nenek saya melaksanakannya pada hari minggu terakhir bulan Ruwah, dan kampung paman saya pada hari kamis kedua bulan Ruwah.

Nyadran bukan hanya sekadar ritual berdoa dan makan bersama warga satu kampung. Kedua orang tua saya malah memegang tradisi mengirim nasi berkat kepada adik dan kakak mereka setiap peringatan Nyadran. Keluarga lain juga banyak yang masih memegang tradisi unik ini sehingga bulan Ruwah seringkali disebut bulan nasi berkat.

Dalam tradisi Nyadran pun pesertanya bukan hanya dari warga satu kampung, melainkan warga satu kampung ditambah orang-orang dari luar yang leluhurnya dimakamkan di kompleks pemakaman kampung tersebut. Acara Nyadran akhirnya menjadi sarana untuk berkumpul keluarga besar yang mungkin saja sangat jarang bertemu karena kesibukan masing-masing. Para perantau pun kadang-kadang pulang kampung. Terutama bagi perantau yang tidak bisa mudik di tahun sebelumnya, mereka membayar tuntas rindunya ketika Nyadran.

Berkaitan tentang nasi berkat, pada zaman dulu isi nasi berkat kebanyakan benar-benar nasi, sayur, dan lauk yang cukup untuk dimakan satu keluarga. Namun dalam sepuluh tahun terakhir mulai ada inovasi dari beberapa kampung. Ada berkat yang isinya bahan mentah seperti yang terjadi di kampung paman saya. Mereka membungkus beras, mie, telur, minyak, gula, dan teh sebagai berkat. Sedangkan di kampung saya sendiri, suatu kali pernah menggunakan kue sebagai berkat. Kesibukan masyarakat zaman sekarang sehingga sulit untuk mengadakan masak besar bersama menjadi alasannya.

Wujud berkat dapat berubah sesuai zaman, tetapi intinya masyarakat melakukan usaha untuk melestarikan tradisi Nyadran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun