Mohon tunggu...
Mahmud Khabiebi
Mahmud Khabiebi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Manusia paling beruntung sedunia, suka menulis

Baru lulus kuliah S1 Bahasa dan Kebudayaan Jepang Universitas Diponegoro

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Pilihan

Tentang Kemacetan di Sekitar Undip

17 Februari 2023   06:00 Diperbarui: 17 Februari 2023   06:20 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semester genap di Universitas Diponegoro (Undip) sudah dimulai sejak senin lalu, kegiatan sivitas akademika kembali berjalan seperti sedia kala. Jalanan Tembalang yang hari minggu lalu masih sepi, senin sudah macet kembali.

Kemacetan yang biasa terjadi pada sore hari ini sudah menjadi kawan setia bagi mahasiswa. Ada yang baru pulang kuliah, ada yang baru akan berangkat nongkrong atau mencari makan di tempat favoritnya. Mereka bersama-sama memadati jalanan dengan kendaraan masing-masing.

Banyak yang mengeluhkan kondisi ini tetapi mereka pun tidak punya pilihan untuk tidak ikut terjebak dalam kemacetan karena faktanya kondisi di lapangan memang mendukung untuk itu. Mulai dari wilayah kampus yang berbukit dan sangat luas, jalan yang lebar, hingga fasilitas parkir yang terus dibangun pihak universitas. Tidak ada alasan untuk tidak menggunakan kendaraan pribadi di sekitar kampus. Apalagi ditambah tidak adanya transportasi umum yang memadai.

Induced demand

Kemacetan di kampus ini seharusnya bisa diatasi. Ironis, keberadaan kampus yang diharapkan menjadi solusi bagi masalah sosial di lingkungan sekitarnya malah menambah masalah baru bagi warga lokal.

Persoalan ini sering menjadi bahan perbincangan mahasiswa Undip di media sosial twitter. Mereka mengidentifikasi penyebab kemacetan adalah mobil pribadi, parkir liar, dan jalan sempit. Dua di antaranya memang menjadi penyebab kemacetan sepanjang jalan Prof. Soedarto. Tetapi soal lebar jalan, sebenarnya sudah cukup.

Solusi untuk mengatasi kemacetan bukan dengan pelebaran jalan karena yang sudah terjadi di berbagai kota di dunia, semakin lebar jalan raya semakin banyak penggunanya. Fenomena ini disebut induced demand atau sebuah kondisi saat peningkatan fasilitas membuatnya menjadi lebih mudah dan nyaman digunakan sehingga terjadi peningkatan pengguna. Sialnya, peningkatan jumlah pengguna selalu bisa menyalip laju peningkatan fasilitas.

Berdasarkan teori tersebut, maka jalan sekitar kampus yang sempit bukan sebuah masalah dan pelebaran jalan bukan solusi yang tepat.

Selanjutnya menyalahkan parkir liar adalah hal yang tepat. Sepanjang jalan Prof. Soedarto sudah cukup untuk dua mobil berjalan beriringan, tetapi keberadaan parkir liar membuat ruang gerak kendaraan menyempit. Lebih parah lagi, parkir liar sering merebut hak pejalan kaki.

Lalu apakah ini artinya kawasan sekitar Undip butuh tempat parkir yang memadai?

Sayangnya tidak karena fenomena induced demand juga berlaku untuk tempat parkir. Parkiran yang luas dan nyaman membuat pengguna kendaraan pribadi semakin nyaman dengan kendaraannya masing-masing. Dampaknya, jumlah kendaraan juga meningkat. Akhirnya jalan tetap penuh dan macet.

Dapat dibayangkan, puluhan ribu mahasiswa Undip memilih menggunakan motor atau mobilnya masing-masing karena tempat parkir sudah nyaman. Saat jam pulang kuliah tiba, motor dan mobil akan keluar dari tempat parkir bersamaan kemudian memenuhi jalan raya.

Pendapat lain dari seorang warganet menyebutkan bahwa pengguna mobil pribadi di kalangan mahasiswa mengalami peningkatan. Menurutnya sebelum pandemi kondisi macet hanya terjadi di bulan ramadan menjelang buka puasa, awal semester ganjil, dan momen wisuda. Kemacetan yang terjadi sejak pertengahan tahun lalu dianggapnya tidak wajar karena terjadi setiap hari.

Jika asumsi di atas benar, maka yang harus dilakukan untuk mengatasi kemacetan adalah mengurangi penggunaan mobil pribadi untuk kegiatan sehari-hari. Tapi, bagaimana caranya?

Solusi

Permasalahan yang sebenarnya ada adalah kontur undip yang berbukit, luasnya wilayah kampus, dan ketiadaan transportasi umum. Dua masalah pertama sudah mulai disiasati dengan keberadaan bus kampus. Bus yang setiap hari berkeliling di dalam kampus ini mengantarkan mahasiswa dari fakultas satu ke fakultas yang lain dan mengantar mahasiswa keluar-masuk lingkungan kampus.

Satu masalah yang tersisa adalah nihilnya transportasi umum untuk menjangkau kampus dari dan ke tempat kos/kontrakan. Mahasiswa yang tinggal sekitar 2-4 km dari kampus tidak memiliki pilihan selain menggunakan kendaraan pribadi. Jadi, kemacetan yang terjadi memang tidak terhindarkan.

Meskipun begitu membangun sistem tranportasi umum bukan jalan satu-satunya. Ada solusi lain, yaitu memaksa mahasiswa berjalan kaki atau bersepeda. Untuk menerapkannya, tempat tinggal mahasiswa harus lebih dekat dengan kampus. Perihal seberapa dekatnya, saya pikir maksimal 15 menit berjalan kaki karena berdasarkan pengalaman pribadi berjalan kaki selama 15 menit di sekitar undip sudah cukup untuk membuat ketiak basah. Lebih dari itu sampai kelas pasti sibuk kipas-kipas.

Namun lagi-lagi ini terbentur dengan kontur Undip yang berbukit. Butuh biaya mahal untuk mengubah bukit curam menjadi hunian bertingkat untuk mahasiswa. Apalagi sekarang statusnya PTN-BH yang butuh berbisnis untuk kelangsungan kegiatan kampus.

Lah, terus apa solusi yang efisien dan bisa segera dikerjakan?

Yntkts

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun