Mulanya aku berpikir bahwa aku harus mengubah dunia, tetapi akhirnya aku temukan bahwa satu-satunya yang bisa aku ubah adalah mengubah diriku terhadap dunia
Kata-kata itu yang terngiang di telingaku, ketika malam telah larut namun mata belum ngantuk. Pikiranku masih terbebani kejadian malam itu.
Selesai ku tutup toko segera menuju ke tempat makan yang telah disepakati. Pertemuan antar pengurus mengenai evaluasi agenda acara Car Free Day di sebuah komplek.
"Tidak apa-apa, kan kita saling bantu kok... " tegas seorang ibu yang memang sudah sekian lama memuntahkan uneg-unegnya.
" Bukan begitu Bu, sebelumnya kan saya tanya untuk masalah tenda sudah clear belum? Terkendala atau terkendali? Jawaban yang saya dapatkan, sudah semua aman dan sentosa."
" Tapi kenyataannya, saat malam kemarin terlihat seorang sekretaris membantu  menyelesaikan pemasangan tenda. Bagi saya itu tak pantas lah, masa iya sekretaris beresin tenda-tenda. Dan pada akhirnya, sekretaris pada hari H tidak ikut bantu-bantu karena kelelahan." JelaskuÂ
"Lah, jangankan sekretaris dulu saja ketua bantu juga kok, masang tenda malam-malam." Sanggahnya
" Benar ibu, tetapi saya kurang setuju. Kan sudah ada anggarannya kan untuk memasang tenda? 300 ribu ongkosnya?"
" Iya, biasanya berempat tapi kemarin cuma berdua wajar dong Mas Yanto bantu masang tenda?"
"Tapi itu bukan tanggung jawab dia Bu, bila kita malam-malam ngecek ke lapangan bukan untuk bantu-bantu tetapi memantau bagaimana agar tenda bisa terpasang."
Perdebatan yang tak kunjung usai masih berlanjut ke hal-hal yang lain.
Mereka bertiga memang sengaja aku kritik di group WAG, tentang kinerja pengurud. Bukan sok dan angkuh, Aku kritik mereka karena kurang greget gerakannya.
"Apa tugas sekretaris? Harusnya Flyer dan roundown acara telah selesai sebelumnya. Tetapi kenapa menunggu pengurus yang lain bertanya?" Kataku di tengah memanasnya pembicaraan di pertemuan.
"Tidak terlambat kok menurut saya" Jawab Bu Nyai yang sedari awal pertemuan selalu menyanggah omonganku.
Dengan sedikit senyum dan tetap tenang aku ladeni omongan mereka. Tentu aku berbuat demikian karena aku tahu ada kelalaian dalam tugas pengurus.
Uang lelah pengurus tidak ku terima, justru aku balikkan ke ketua. Tak sepantasnya menurutku, kita menerima uang yang tidak semestinya. Karena kegiatan tersebut bentuknya sosial.
"Mohon maaf sebelumnya, ini saya terima namun saya kembalikan ke ketua untuk pemasukan uang kas kita" ujarku di awal pertemuan.
"Ambil saja Pak, memang sebelumnya tidak ada uang lelah seperti ini" Jelas Bu Nyai padaku.
Aku tetap menolaknya.
Malam kian larut, kembali kata-kata motivasi yang pernah ku baca terngiang kembali. Menyadarkan diri yang lemah ini untuk terus meng evaluasi, intropeksi diri. Tidak semua yang ku anggap benar, di mata orang lain juga benar. Perbedaan sebuah keniscayaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H