Indahnya Ibu Kota, tak se indah nasibku, gumamku dalam hati. Sambil bersungut-sungut aku melangkah di lalu lalangnya kendaraan yang lewat. Siang itu kutelusuri trotoar jalan. Teriknya matahari tak kuhiraukan. Sepatuku penuh debu, entah berapa kilo aku berjalan. Uang disaku tersisa lima ribu, uang satu-satunya yang ku punya. Itu pun terlihat kucel dan kusam seperti diriku.Â
Map berisi berkas lamaran masih kupegang, terlihat sudah lusuh. Karena telah banyak perusahaan di Jakarta yang ku singgahi untuk melamar. Ku berhenti sejenak sambil berteduh di bawah pohon. Kerongkonganku kering, perut pun sudah memanggil.Â
Ku sandarkan badanku seraya menarik nafas. Ku ambil botol minum yang tadi aku bawa dari rumah, airnya tinggal seteguk. Berangkat pagi buta selepas Subuh, dengan berjalan kaki. Tak terasa ber kilo-kilo aku berjalan. Tak ku hiraukan kaki ini yang terasa pegal dan nyeri.
Masih terngiang-ngiang ditelingaku, perkataan istri yang mengeluh belanja dapur, uang anak sekolah, bayar uang kontrakan, susu anak dan lain-lain.
Tak terasa sudah tiga bulan lamanya aku menganggur. Selepas aku di PHK, tak ada satu pun kerjaan ku dapatkan. Anak ku yang kecil butuh susu. Yang besar baru saja masuk sekolah, itu pun belum lunas uang pendaftarannya. Belum lagi uang belanja untuk kebutuhan sehari-hari, uang kontrakan sementara Pesangonku sudah tiris.
   "Sisa uang pesangon kamu menipis mas, mana cukup untuk kebutuhan sehari-hari kita. Uang kontrakan bulan kemarin belum dibayar. Anak-anak kita mau makan apa?? Coba usaha dong mas, cari kerja" ujar istriku suatu ketika.
"Iya dik, mas sudah usaha cari kerja kesana kemari. Tapi belum ada lowongan"
Kulihat wajah istriku kian resah, sementara aku Cuma pasrah.
Ku usap anak ku yang kecil, membuat mataku berkaca-kaca. Maafkan Ayah, Nak bisikku dalam hati.
"Ayah.. kapan aku di belikan tas dan buku??" tanya anakku yang besar. "Iya Nak, sabar Ayah belum punya uang." Jawabku sedih.
Tak kuat rasanya melihat keadaan ini, jiwaku teriak.