Mengenang 100 tahun Chairil Anwar
Masih teringat saat penulis di bangku sekolah, karya puisi Chairil Anwar di pelajari dan dipentaskan. Aku turut serta mempelajari karya-karyanya dan ikut membacakan puisi yang melegenda yaitu "Aku" dan " Antara Karawang dan Bekasi".
Ketika latihan di depan kelas, ekspresi raut wajahku sangat menghayati dan menjiwai isi puisi ciptaannya. Sajak di bawah ini yang aku bawakan di depan kelas.
Aku
Kalau sampai waktuku
Kumau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau..
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa ku bawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Maret, 1943
Perasaan bangga saat membacakan puisi karyanya, penghayatan yang maksimal hingga apresiasi dari guru dan teman-teman luar biasa. Â
Sejak itulah, aku suka puisi. Bukan Cuma suka bahkan sempat membuat karya puisi, walaupun tak sebagus karya puisi ternama.
Entah kenapa ketika ada kejadian atau peristiwa yang aku alami selalu ku tuangkan dalam puisi. Waktu sekolah ketika jatuh cinta, buat puisi yang romantis, puisi rasa kebingungan, mengenai kemarahan, dan macam-macam tema yang aku buat.
Hingga sekarang masih membuat bait puisi, sepertinya gatal rasanya bila tak menulis puisi.
Sempat pula mengikuti lomba menulis puisi tingkat nasional, walau tidak terobsesi menjadi juara namun hanya ingin ikut serta menampilkan karya sendiri. Terlebih karya yang aku buat di bukukan dalam satu buku dengan penulis karya puisi yang lain.
Sebuah buku yang menjadi sejarah hidupku, kelak akan kuceritakan pada anak dan cucu-cucuku.
Hikmah pelajaran dari Chairil Anwar