Hadi menuruni tangga bus antarkota sore itu, kakinya menginjak aspal terminal Kampung Rambutan. Dengan tas ransel di pundak dan kardus kecil ditangannya menyusuri jalan menuju angkot. Cuaca yang mendung tak mengurangi aktifitas awak bus  yang sibuk menaiki dan menurunkan penumpang. Angkot yang di tuju hadi sangat jarang, hingga mesti menunggu cukup lama. Diraih sebotol air mineral di tas ranselnya sambil minum matanya terus menyusuri suasana terminal. Tak lama angkot yang dinanti memasuki terminal, Hadi dan beberapa penumpang yang setujuan segera mendekati. Ia mengambil tempat duduk di depan samping supir.
'Seperti udara kasih yang engkau berikan...tak mampu ku membalas..ibu' suara pengamen cilik menyanyikan lagu Iwan Fals, Ibu. Dengan lincah jari mungil memainkan gitar kecil sambil terus bernyanyi. Hadi tertegun sejenak, pikirannya melayang teringat ibunya. Ibu yang seorang diri membanting tulang untuk kebutuhan ia dan adik-adiknya. Berjualan keliling dengan sepeda mendiang Ayahnya. Selesai berjualan masih mencari tambahan dengan menawarkan jasa cuci dan gosok. Kehidupan yang pas-pasan membuat Hadi tak lepas tangan, Ia turut membantu ekonomi keluarga dengan berjualan di kantin sekolah.
 Senja mulai tampak di langit,angkot terus melaju. Jalan gang rumah Hadi terlewati angkot, Ia hanya memandangi seiring laju kendaraan. Ibu..aku kangen, lirihnya. Gelap mulai datang,di bawah pohon kamboja di sudut pemakaman. Bait-bait doa keluar dari mulut Hadi seraya memegang nisan dihadapannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H