Mohon tunggu...
Mahmud Aditya Rifqi
Mahmud Aditya Rifqi Mohon Tunggu... Dosen - Mengajar, Menulis, Meneliti

Berbagi tentang Gizi dan Kesehatan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Program Gizi: (Jangan) Kejar Target, Lupa Esensi

25 Januari 2025   14:13 Diperbarui: 25 Januari 2025   15:37 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu dan Anak (UNICEF Indonesia)

Walau sudah diawasi oleh ahli gizi, pada penerapannya porsi yang diberikan masih jauh dari jumlah ideal. Bisa dibayangkan, porsi anak SD diberikan untuk anak SMA, tentu tidak sesuai dengan jumlah zat gizi yang dibutuhkan.

Masalah ini menimbulkan konsekuensi yang tidak bisa dianggap sepele. Anak-anak membutuhkan asupan protein berkualitas tinggi untuk mendukung perkembangan otot dan jaringan tubuh, sementara konsumsi sayuran diperlukan untuk mencukupi kebutuhan serat dan vitamin.

Ketidakseimbangan gizi seperti ini, jika terus berlangsung, dapat menghambat pertumbuhan fisik dan mental mereka. Bahkan, dalam jangka panjang, kondisi ini dapat meningkatkan risiko penyakit tidak menular seperti obesitas atau gangguan metabolisme.

Tepat Sasaran atau Justru Menambah Beban?

Salah satu tantangan terbesar dalam pelaksanaan program MBG adalah memastikan bahwa bantuan ini benar-benar menjangkau anak-anak yang paling membutuhkan.

Dengan skala program yang begitu besar, risiko ketidaktepatan sasaran sangat mungkin terjadi. Tanpa pemetaan yang baik, potensi pemborosan sumber daya sangat tinggi. Ada kemungkinan bantuan justru diterima oleh kelompok yang tidak memerlukan, sementara anak-anak dari keluarga miskin tetap tidak terjangkau.

Burbano (2018) menekankan bahwa program makan bergizi harus bersifat pro-rakyat miskin dan marjinal. Banyak negara berkembang menghadapi kendala serupa, terutama terkait keterbatasan anggaran. Oleh karena itu, pemerintah perlu memastikan bahwa alokasi anggaran difokuskan pada kelompok sasaran utama dengan menggunakan data yang akurat dan sistem pemantauan yang ketat.

Dalam konteks ini, evaluasi dan pengawasan menjadi elemen yang tidak bisa diabaikan. Misalnya, mengadopsi skema diferensiasi, di mana anak-anak dari keluarga miskin mendapatkan makanan secara gratis, sementara kelompok yang lebih mampu hanya mendapatkan subsidi. Skema ini tidak hanya lebih adil tetapi juga memastikan keberlanjutan program dalam jangka panjang. Beberapa negara maju berhasil melaksanakan skema ini, seperti Jepang dan Korea Selatan. Skema ini dirasa dapat menjadi jalan tengah, menghindari keos anggaran dikemudian hari.

Jalan Menuju Perbaikan

Program makan bergizi gratis memiliki potensi besar untuk menjadi katalis perubahan positif dalam mengatasi masalah malnutrisi di Indonesia. Namun, seperti halnya program besar lainnya, keberhasilan ini tidak akan tercapai tanpa persiapan yang matang dan pelaksanaan yang terkoordinasi dengan baik. Pemerintah harus segera memperbaiki kekurangan yang ada, sebagai upaya investasi jangka panjang untuk membangun generasi Indonesia yang lebih sehat dan produktif. Jangan biarkan potensi besar ini tenggelam oleh permasalahan yang sebenarnya dapat diatasi dengan kerja sama dan komitmen semua pihak. Mari kawal Bersama, Selamat Hari Gizi 2025!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun