Mohon tunggu...
Mahmud Aditya Rifqi
Mahmud Aditya Rifqi Mohon Tunggu... Dosen - Mengajar, Menulis, Meneliti

Berbagi tentang Gizi dan Kesehatan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Program Gizi: (Jangan) Kejar Target, Lupa Esensi

25 Januari 2025   14:13 Diperbarui: 25 Januari 2025   15:37 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu dan Anak (UNICEF Indonesia)

Peraturan Presiden No.83 Tahun 2024 menjadi landasan berdirinya Badan Gizi Nasional (BGN) yang menandai peluncuran program makan bergizi gratis (MBG). Program ini diharapkan menjadi solusi utama untuk mengatasi masalah malnutrisi yang hingga kini masih menggurita di Indonesia.

Berdasarkan data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, sebanyak 21,5% anak Indonesia masih berada dalam kategori stunting, angka yang tak mengalami penurunan signifikan dalam tiga tahun terakhir.

Untuk mendukung ambisi besar ini, pemerintah telah mengalokasikan anggaran hingga Rp 71 triliun guna memenuhi kebutuhan makan siang anak di seluruh Indonesia pada tahun 2025.

Namun, harapan besar ini perlu dicermati dengan hati-hati. Baru berjalan beberapa minggu, program ini sudah menuai kritik tajam dari berbagai pihak.

Masalah mulai dari pemangkasan anggaran, menu yang tidak memenuhi standar gizi, hingga distribusi yang tidak merata telah menimbulkan keresahan. Indikasi ini mengindikasikan ketidaksiapan pemerintah untuk meluncurkan program sebesar ini.

Kejar Target, Lupa Esensi

Pemahaman yang berbeda terkait esensi program ini tampaknya menjadi salah satu penyebab utama masalah di lapangan. Koordinasi yang kurang matang antara pemerintah pusat dan daerah memicu pelaksanaan yang tak terarah. Dalam dua minggu pertama, ditemukan bahwa makan siang di beberapa sekolah diberikan lebih awal, bahkan ada yang dibagikan pukul 10.00 pagi.

Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa siswa pulang lebih cepat dari jadwal. Namun, waktu pemberian makan yang tidak sesuai seperti ini jelas tidak efektif. Pada waktu tersebut, sebagian besar siswa baru saja selesai sarapan 2-3 jam sebelumnya, sehingga makanan yang diberikan sering kali tidak dihabiskan dan berakhir sebagai sampah.

Keadaan ini tentu sangat disayangkan. Secara teori, waktu makan merupakan elemen penting dalam memastikan tubuh dapat menyerap zat gizi secara optimal. Paoli (2019) menekankan bahwa pola makan yang tidak teratur memiliki dampak negatif yang hampir setara dengan kurangnya asupan gizi. Jika ritme pemberian makanan tidak diatur dengan baik, bukan tidak mungkin program ini justru memicu masalah kesehatan lain, seperti gangguan pencernaan atau pola makan yang tidak sehat. Penjadwalan distribusi waktu makan ini adalah titik kritis, yang harus dievaluasi segera.

Menu Gizi yang Tidak Memadai

Selain waktu pemberian makanan, isu lain yang muncul adalah kualitas menu makan siang. Beberapa laporan menunjukkan bahwa menu yang disediakan tidak sesuai dengan standar gizi yang telah ditetapkan. Misalnya, ditemukan menu dengan dominasi karbohidrat tanpa adanya sumber protein yang memadai, serta sayuran yang diberikan dalam jumlah minim. Situasi ini menunjukkan kurangnya perhatian terhadap kebutuhan gizi seimbang, yang secara jelas sudah tercantum dalam Permenkes No 41 Tahun 2014. Peraturan ini memberi gambaran jumlah zat yang dibutuhkan berbeda antar kelompok usia. Tampaknya belum tercermin dalam paket MBG yang disediakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun