Genderang perang terhadap masalah gizi nampaknya menjadi concern utama pemerintah Indonesia baru. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan pembentukan Badan Gizi Nasional adalah bukti bahwa sederet langkah strategis sudah direncanakan, menjawab keraguan masyarakat terhadap program yang diusung. Namun, di balik ambisi kebijakan ini, masih tersisa pertanyaan mendasar: Apakah langkah-langkah ini benar-benar akan memenuhi kebutuhan gizi anak?
Pemilihan menu dan metode yang disiapkan pelan-pelan mulai terkuak. Berbagai media mengkritisi ketidaksiapan pemerintah dan manajemen yang prematur. Makan siang yang disediakan ternyata jauh dari harapan: porsinya kecil, kurang beragam, dan beberapa daerah bahkan harus menunda karena ketidaksiapan.Â
Ada kekhawatiran serius bahwa inisiatif ini berisiko menjadi proyek yang hanya berdasarkan angan-angan atau sekadar formalitas, tanpa memberikan dampak nyata atau menyentuh akar masalah.
Menu Tidak Terstandar
Titik kritis pertama yang menjadi sorotan adalah standarisasi menu yang harus disusun. Setiap paket makan siang harus dievaluasi agar memenuhi kebutuhan gizi anak.Â
Beberapa fakta di lapangan terlihat kecenderungan porsi yang disamaratakan. Padahal, sebagai contoh kebutuhan energi untuk anak usia 7-9 tahun (laki-laki) adalah 1.650 kalori per hari, sedangkan untuk usia 10-12 tahun adalah 2.000 kalori (sesuai Angka Kecukupan Gizi 2019). Tentu saja 30% dari kebutuhan energi harian harus dipenuhi melalui makan siang tidak bisa diseragamkan.
Mekanisme perencanaan standar menu dan porsi ini tentu tidak sesederhana yang dibayangkan. Jumlah kalori tersebut harus diterjemahkan ke dalam ukuran yang mudah dipahami oleh penyedia makanan/katering.Â
Pemerintah perlu membentuk tim teknis khusus untuk sosialisasi dan mengawasi standar ini. Tim ini yang harus menerjemahkan program guna meminimalisir kesalahan sistemik yang bisa menghambat efektifitas program ini. Proses ini tentu butuh waktu, tidak bisa tergopoh-gopoh.
Minimnya "Peran" Pangan Lokal
Titik kritis kedua yang perlu disoroti adalah adalah pemilihan menu yang harus mengedepankan potensi pangan lokal. Protein, sebagai zat pembangun utama dalam pertumbuhan anak, menjadi komponen kunci dalam program ini. Namun, harga protein yang relatif mahal, sering kali membuat sebagian masyarakat hanya mampu menyediakan sumber protein seadanya.Â
Pemerintah tampaknya memilih program minum susu sebagai solusi alternatif, namun pendekatan ini terasa ambisius. Dengan produksi susu nasional yang masih terbatas, membuka keran impor besar-besaran bukanlah solusi yang tepat, karena justru dapat menimbulkan masalah baru.
Untuk memastikan keberlanjutan program ini, optimalisasi potensi pangan lokal harus menjadi prioritas. Hal ini selaras dengan cita-cita negara tertuang dalam Perpres No 81 Tahun 2034 tentang penganekaragaman pangan berbasis pangan lokal.Â
Susu bukan satu-satunya sumber protein, dan tidak perlu dipaksakan. Ada banyak alternatif lain yang bisa dikembangkan, seperti telur, daging ayam, dan ikan.Â
Pemerintah sudah selayaknya memiliki peta sebaran protein lokal yang perlu dikawal secara efektif, sehingga memacu ketersediaan susu tidak menjadi satu-satunya jalan keluar. Potensi pangan lokal dapat menjawab tanda tanya besar terkait keberlanjutan program dan beban ekonomi yang akan ditimbulkan.
Keterlibatan Keluarga
Titik kritis ketiga yang tak kalah penting adalah keterlibatan keluarga dalam program makan siang. Pengalaman dari berbagai negara menunjukkan bahwa peran serta orang tua sering diabaikan, padahal mereka adalah garda terdepan dalam mendukung kesuksesan program ini.Â
Orang tua harus memahami betul pentingnya program makan siang ini, karena asupan gizi anak tidak hanya ditentukan oleh makan siang di sekolah, tetapi juga oleh makanan yang mereka konsumsi di rumah di bawah pengawasan orang tua. Semua upaya untuk memastikan gizi seimbang pada makan siang akan sia-sia jika di rumah anak-anak diberikan makanan yang tidak tepat gizi.
Keterlibatan orang tua dapat dimulai dengan program edukasi dan pendampingan yang ditujukan langsung kepada mereka. Belajar dari kesuksesan program makan siang di negara maju seperti Jepang, sekolah-sekolah secara rutin memberikan informasi dan evaluasi pola makan kepada orang tua.Â
Dalam hal ini, peran guru harus didukung oleh ahli gizi dan tenaga kesehatan lainnya. Edukasi yang berjenjang dari tenaga kesehatan, guru, hingga orang tua akan menjadikan orang tua sebagai kader utama dalam menyukseskan program ini.
Perhatian terhadap pedoman-pedoman di atas harus menjadi fokus utama pemerintah dalam menjalankan program makan siang gratis. Program ini bukanlah hal baru---sudah diterapkan di 76 negara lainnya dan telah membantu 418 juta anak di seluruh dunia. Namun, di balik banyaknya cerita sukses, terdapat juga kisah kegagalan dan program yang mangkrak akibat mismanagement.Â
Selain memastikan aliran dana dan integritas pihak-pihak yang terlibat, pengawasan terhadap kualitas dan efektivitas produk makanan yang ditawarkan juga sama pentingnya. Jangan sampai program ini berakhir sebelum waktunya, hanya dalam hitungan bulan.Â
Mari kita kawal bersama agar inisiatif ini benar-benar berdampak positif dan berkelanjutan! Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H