Â
Tiket kereta beres, ijin dari istri sudah didapat. Hal selanjutnya adalah tiket pertandingan, tempat menginap dan ijin dari atasan. Di grup BBM Bonek Jabodetabek, seorang kawan memberi kabar sudah berinisiatif memesankan tiket pertandingan, dan saya sudah masuk hitungan dalam pesanan tersebut.Â
Â
Untuk tempat menginap, alhamdulillah mendapat tumpangan menginap di toko buku seorang kawan yang ada di Jl. Semarang, yang berjarak hanya 100 meter dari stasiun Surabaya Pasar Turi. Sangat strategis dan membantu, karena kereta yang saya tumpangi datang pada dini hari.
Â
Ijin dari atasan ini yang agak sulit-sulit gampang, sebenarnya bukan ijin tidak masuk kerja hanya ijin untuk pulang lebih cepat, karena kereta saya berangkat pada sore hari. Untuk hal ini, strategi yang saya lakukan adalah mengerjakan semua pekerjaan penting hingga selesai, kemudian melaporkannya, tapi harus menunggu saat yang tepat, jangan sampai di saat atasan sedang dalam mood yang sedang tidak bagus. Bisa-bisa, segala rencana yang telah tersusun berantakan karena tidak mendapat ijin pulang lebih cepat. Alhamdulillah strategi berhasil, dan saya bisa pulang lebih cepat.
Â
Mengapa pertandingan kali ini layak diperjuangkan, sehingga kawan-kawan Bonek dan juga saya berhasrat untuk hadir, karena laga kali ini bagi kami adalah simbol perlawanan yang nyata di lapangan hijau dari Surabaya. Bahwa Surabaya terus melawan dan semangat ini tak pernah padam.
Â
Meskipun hanya pertandingan ekshibisi, namun bagi Bonek laga ini atmosfernya seperti pertandingan final. Spirit tahun 88 kembali bergelora, dengan segala upaya kawan-kawan berusaha datang ke Surabaya. Karena tidak semuanya mempunyai rejeki yang berlebih, ada yang menggadaikan motornya, handphonenya, dan sebagainya. Ada juga yang estafetan menuju Surabaya. Estafet adalah istilah kawan-kawan Bonek yang menumpang kendaraan satu ke yang lain sampai menuju tempat tujuan. Semua ini hanya untuk Persebaya (1927).