Mohon tunggu...
Mahliana De Uci
Mahliana De Uci Mohon Tunggu... Freelancer - dan bagaimana saya harus mengisi kolom ini?

Gemar menonton bola dan main PES. Asli Majalengka.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wanita Oreo Martelli

15 Maret 2023   19:50 Diperbarui: 15 Maret 2023   19:58 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kredit gambar: Katsiaryna Endruszkiewicz, Unsplash 

Ia bertemu wanita itu di dalam minimarket yang lahan parkirnya bisa ditanami dua tiang dan jaring-jaring ‘tuk nyambi fungsi jadi lapangan voli sederhana nan ceria. Dalam sebuah lajur berisi susu, coklat, teh, sereal; etalase minuman instan. Wanita itu, dengan leher setengah menunduk, memegang sebendel serbuk minuman rasa green latte dan mematung. Tidak benar-benar mematung. Ada gerak tipis, gedeg-gedeg, dari persendian lehernya.

Heran. Hari gini masih ada yang baca kandungan gizi? Nyari gizi kok di sini, ia membatin.

Jarak pandangnya kurang lebih selama sepertiga akhir lagu elektronik yang berdegup dalam minimarket itu. Cukup lumayan. Lumayan aneh. Sebab si wanita masih takzim bertafakur dan ia masih curi-curi pandang ke sana, berjongkok di depan antrian beruang astronot Honey Stars meski sebenarnya cuma diamanati beli gula oleh istri di rumah.

“Mmm, Maaf...anda bisa bantu saya?”

Si wanita lempar tanya. Jelas untuknya. Masa’ buat beruang-beruang astronot?

“Ya, gimana...mbak?” Ada jeda untuk kata terakhir itu, seperti disimbolkan titik-titik di sana.

“Begini, di bungkus ini saya baca jika butuh air panas 90˚C untuk menyeduh minuman ini. Apa benar? Jika benar, bagaimana anda tahu bila air itu bersuhu sekian?”

Ia amati wajah si wanita dalam-dalam. Seolah ingin menguliti permukaan kepalanya. Benarkah ia menanyakan hal macam itu? Atau ini modus operandi baru kejahatan hipnotis? Ada beberapa detik berlalu keduanya saling tatap dengan raut wajah berlainan. Ia tak temukan pijakan solid buat menuduh pemilik wajah itu. Dan cara ia bertutur terdengar wajar, sembulkan rasa penasaran yang murni.

“Anda biasanya tak butuh termometer atau apapun, mbak,” ia meraih bendel green latte dari genggaman si wanita, sepersekian detik kulit mereka beradu. “Siapapun bisa menikmati minuman ini tanpa harus sepresisi itu mengukur suhu air. Pernah bikin kopi atau mie instan sebelumnya, kan?”

Si wanita, yang ia harapkan bakal ber-“oohhh”, dan segera disusulnya “nah, begitu..”, malah memiringkan kepala; Belum puas pada (semacam) penjelasannya. Baru saat ini ia kepikiran betapa berarti video-video memasak yang kerap ditonton istrinya. Dari pancake sirsak, morning fritatta ke bola-bola ketan hitam. Hidangan Mongolia, Rumania, Indonesia, Polinesia, Kaukasia dan lainnya. Namun, untuk serbuk minuman begini? Yang benar saja!

Ia mengintip ke sebelah wanita itu. Tiga buah pisang, cola ukuran 1,5 L, dan sekaleng sarden bumbu cabe ijo dalam tentengan belanja. Semuanya kudapan ringan ala turis. Ia bukan istri seseorang, atau induk seseorang. Setidaknya itu yang terlihat dari belanjaannya.

Tetap saja, itu belum cukup mewajarkan pertanyaan yang ia lontarkan barusan. Secanggih apapun teknologi masa kini belum membuat rumah tangga kita demikian instan hingga lupa caranya menyeduh minuman instan, bukan? Dan potongan si wanita muda dengan rambut bob hitam kemilau - jaket dan celana jeans - oblong hitam - wedges biru laut dalam, alias tidak bangsawan-bangsawan amat, membuat ia melongo.

“Anda tahu Oreo Martelli?”

“Ore.. apa?”

“Oreo Martelli,” mulut mungilnya mengulang.

Dengan halus, ia putarkan badan dan picingkan mata. Curigai jika sedang berada dalam set komedi situasi atau prank konyol. Tapi tidak ada kamera tersembunyi atau kru dengan topi terbalik. Yang ada adalah dua mata bulat, kecoklatan di lonjong wajah wanita itu. Tatapannya menagih jawaban, atau setidaknya respon tentang Ore..apa tadi?

Seorang pegawai lewat. Hendak mengisi kembali rak tempat coklat-coklat tersimpan. Rak yang sebenarnya belum sepenuhnya habis. Tetapi ia memang tidak berada dalam wilayah pandang pegawai itu, apalagi dalam siklus natural isi ulang etalase coklat-coklatan.

“Lebih baik kita lanjutkan di luar, mbak. Itu pun kalau anda benar-benar penasaran bagaimana tata-cara menyeduh itu.” simpulnya sembari mengulum senyum.

Lalu, mengambil gula di zona promo, yang bersanding dekat minuman berperisa teh, popok bayi, tisu gulung dan papan berangka bercoret merah. Dapati giliran sehabis dia yang membayar tiket kereta Prujakan - Surabaya untuk 4 orang. Sementara wanita Oreo Martelli belum selesai di barisan barang.

Lebih lama mengantri daripada transaksi di kasir. Lebih lama berputar-putar ketimbang mengambil gula yang jelas-jelas tergolek di seberang kasir. Lantas, ambil duduk satu kursi di selasar minimarket itu. Hendak teruskan penggalian akan si wanita unik ini. Pandangan hilir mudik dari trotoar, asbak di meja dan wanita itu yang kini akhirnya ngantri. Bendel green latte tadi rupanya jadi ia beli. Wanita Oreo Martelli memang tak setengah-setengah.

Tulilut..tulilit..tuli

“Papah, beli gula kemana sih? Mimi, Bi Enoh sama Mang Adang mau pergi lagi. Mau terus ke rumah sakit. Pulang dulu, cepet!” Tanpa sempat disela, panggilan itu mati.

Dawuh adalah dawuh. Keluarga lebih penting dari segalanya, sesuatu yang ia pelajari dari Keluarga Cemara, Si Doel-nya Rano Karno, serta The Goodfellas. Apalagi sekadar hasrat penggalian.

Selamat tinggal wanita Oreo Martelli. Semoga tidak mabuk green latte. Semoga temui kesimpulan bahwa memang tak butuh termometer buat seduh itu. Atau sah-sah juga mentohtor serbuk minuman instan langsung, tanpa menyeduhnya. Aku tak bisa mengawani pembuktian itu, kini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun