Ketika kental kopi di seperempat gelas
samar-samar terasa seperti anggur,
kau sedang ulurkan jangkauan
rayapi loker sarat kecemasan
tentang yang tlah berpulang,
tentang budi tak terbalas,
tentang sumpah dan janji,
tentang esok,
tentang mati.
Nada suara meluncur sekenanya;
Meninggi di tingkah si bungsu,
gemerlap panggung kekuasaan,
jual beli kavling perumahan,
Merendah kala sambangi kemungkinan
hadiri pemakaman lainnya atau
kian semrawutnya pencernaan kita
dan anjuran dokter tempo hari.
Asap menari tinggi dimainkan kipas
Kereta tak jua berhenti, mengepul slalu
temani kesibukan di balik kerling sayu,Â
yang berupaya mencegat itu kantuk.
"Wah jam hiji ning, jang?
Hayu meujeuhna ngider!"
Senter, kentongan di genggaman
dan sarung yang tersampir.
Kita melangkah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H