"Kemarin sih hujan. Hari ini juga mendung. Yakin ga perlu buru-buru?"
Ayu menoleh kini. Kedua alis bertemu, mulut maju. Bentuk tak setuju. Ibu sudah berlalu. Kiranya ke luar, ke sumur. Tangan Ayu terulur ke androidnya. Mematikan Fiersa, walau tak sampai menghapusnya, dan mengintip waktu. Masih ada satu jam menuju pukul empat, waktu pesta dimulai. Bakal mepet. Toh ia terbiasa berdansa, meliuk-liuk melalui pengendara-pengendara lain di jalan raya dengan Beat-nya.
Kembali ia berbalik menghadap kaca lemari. Sedikit saja menaruh perhatian, di situ sebenarnya ada ibu. Ya, bayangan mereka di cermin begitu mirip. Dari hidung, mata, garis wajah. Cukup cantik meski tidak setaraf model skincare yang ia beli produknya. Namun, sekali lagi, seluruh fokus telah tumpah pada urusan sandang.
Pesta topeng konon selalu ramai dan sudah dipandang sebagai ajang yang pas buat mencari pasangan. Lebih dari itu, kakak tingkat yang Ayu kagumi juga bakal hadir. Maka, ia tak boleh terlihat berantakan. Tidak juga terkesan berusaha keras. Nah, di situ letak tantangannya, yang bikin ia macam kerasukan Victoria, Ivan, atau entah siapa!
Mendesah ia. Nafas keluar melalui satu helaan mulut. Lelah. Mengawang benaknya sedikit menyesali kenapa acara rekeasi harus semenyusahkan ini. Coba kalau perihal pakaian ditentukan saja. Macam seragam anak SMA atau batik para pegawai pabrik dan kedinasan. Tentu, ia tak bakal payah memilah, menimbang-nimbang apa ini cocok atau tidak. Mendadak ia merasa jika kebebasan dan ruang berkreasi kadang membawa sengsara dan memeras keras isi kepala.
Namun, ia tak patah arang begitu saja. Bayangan dapat memukau hati pujaannya terlanjur membekas dan begitu menggiurkan bila mewujud realitas. Bagaimanapun kesempatan unjuk diri dalam sebuah etalase bertajuk "Pesta Topeng" ini terlalu berharga jika dibiarkan menguap diterpa ketidakpedulian semata. Itulah kenapa ia, yang sebenarnya tak terlalu fanatik urusan mode dan tetek-bengeknya, mau meluangkan masa untuk merias diri.
"Yak, sudahlah. Tak mengapa sedikit sempit. Ada harga yang mesti dibayar untuk segala sesuatunya kan. Berkorban, berkorban." batin Ayu ketika akhirnya mantap memilih.Â
Setelahnya, sedikit bedak, sapuan blush on, gores simetris pensil alis dan pulasan gincu merah membuat ia hampir siap jadi anak pesta. Cihuy. Agak tinggi juga harapannya kala menerka-nerka pertemuan macam apa yang bakal tercipta dengan seseorang di kampus nanti.
Dan begitulah, ketika ia hendak pakai sepatu, sekonyong-konyong perutnya mulas. Alamak, apa pula ini? ...Seblak! Mesti telah sukses bikin pencernaan kalang kabut yang gejalanya sedari tadi diabaikan ketika memilih kostum. Terbirit-birit Ayu masuk kamar mandi. Untung ibu sudah sempat isi air.
"Kreek, kreeekk, pruuuttt, prupruuut..."
Mengalirlah itu ekses. Ternyata diare. Damai beralih dongkol saat sadar baju pilihan, yang menyita dua jam perhatiannya, sobek akibat manuver brutal kala ambil posisi tadi.