Perkenalkan namaku Reza. Kisahku adalah bagian dari jejak sejarah hijrahku. Muqaddimah kehidupanku berawal dari kedua orang tuaku yang menginginkan aku
(bayi yang sedang di kandung ibu) adalah seorang perempuan. Mungkin karena itu pula namaku sedikit mirip dengan nama perempuan. Dibesarkan dengan kekentalan suasana kekerasan. Dengan watak keluarga yang keras, maka hal itu pulalah yang membuatku tumbuh menjadi seorang pemuda yang memiliki karakter yang keras pula.
Dulu aku "Merengek" untuk dimasukkan ke Pesantren. Namun niat itu berubah entah mengapa ketika aku memasuki jenjang SMP. Mungkin karena suasana
lingkungan yang mencuci fikiranku dengan segala kenikmatan semu seorang remaja. Bebas, lepas. Itulah yang aku inginkan. Sampai pada akhirnya, mungkin karena kenakalanku yang tak terkedali lagi, orang tua memasukkan aku ke sebuah pondok pesantren. Jujur saja, awalnya aku merasa acuh terhadap peraturan yang ada. "Aku ingin menjadi apa yang aku ingin, tanpa ada peraturan yang mengaturku !" jelasku.
Hampir, aku masuk dalam kubangan yang mengantarkan dengan mudahnya aku ke neraka. Namun untungnya aku masih dipeluk oleh Rabb untuk tidak mengarah
kesana. Mungkin tak perlu aku bahas tentang hal itu. Karena hal itu sama sekali aku fikir adalah sebuah kesalahan total dan cukup aku dan Rabb ku saja yang tau.
Kata temanku, aku ahlinya dalam bahasan yang berbau tentang bahasa Arab, fikih, hadits dan apalah itu namanya yang dicap "makanan pokok anak pesantren". Namun tak menutup pendengaran ku pula jikalau ada yang mengatakan mengapa ketika seseorang mengetahui sebuah ilmu, ia tau hukum akan ilmu itu tetapi tidak dia aplikasikan dalam kehidupannya. Ya, semua orang bebas untuk menyuarakan pendapatnya, tanpa perlu aku memandang yang ini memojokkan, yang itu membuat kegoyahan iman akan pujian dan yang lainnya adalah sebuah celaan. Kembali lagi pada proses hijrahku.
Mungkin kita semua tau akan suatu tempat yang bernama penjara. Mendengarnya saja sudah membuat semua orang berfikiran negatif akannya. Namun mengapa aku menyebutnya Penjara "Suci" ?. Ya, karena tempat itu pulalah yang menyadarkanku. Terkekang, namun menyesatkanku dalam kebaikan walau yang aku tau belum sepenuhnya aku mengubah diriku, terutama karakter kerasku. Satu hal lagi, mungkin karena aku terlalu candu dengan asap rokok, maka ketika orang lain menganggapnya haram, khusus bagiku itu halal. Lebih baik tidak makan daripada tidak merokok bagiku. Hal itu pulalah yang menyadarkanku jikalau aku belum
seutuhnya hijrah.
Penjara suci itu harus aku diami selama 3 tahun. Kalau ingin dikatakan bebas, memang aku bebas, namun aku pun merasa terkekang. Ya, mungkin itu yang membuat orang ketika mendengarnya menjadi bingung.
Ada satu hal yang membuatku bersedih. Walau aku seorang laki-laki. Namun, jangan pernah mengatakan jikalau laki-laki itu tidak pernah menangis. Akan masa kelam ku dulu, masa jahiliyah ku. MasyaAllah, jikalau mengingatnya betapa banyak dosa yang aku perbuat. Maka hal itu pulalah yang mengingatkanku ketika aku mempelajari suatu ilmu ataupun mengingat-ingat ilmu yang pernah aku dapat tetapi aku lupa, maka mungkin itu karena dosaku yang terlalu banyak.
Aku memang sosok yang bisa dikatakan keras. Namun kepada orang-orang tertentu, yang aku anggap dapat dipercaya untuk berbagi pengalaman dan ceritaku, maka aku berusaha memulai ceritaku dengan karakter orang yang aku percaya itu. Untuk berbagi pengalaman dengannya.
Ya Rabb, sekarang aku merasakan perubahan itu. Bahkan ketika aku mendengar 99 asmaul husna, bohong ketika tidak menangis. Begitu indahnya, sungguh terlalu
indah. Penjara Suci itulah yang aku rindukan. Karena sebagian besar sejarah hijrahku tertoreh disana. Maka ketika aku pulang kampung, aku menyempatkan untuk bekunjung kesana. Penjara Suci ku itu bernama Pesantren.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H