Baru saja kita memasuki tahun baru Islam, 1 Muharram 1444 H. Berbagai macam acara dilakukan. Doa bersama, tausiah, perlombaan, sampai dengan pawai obor, dan arak-arakan budaya pun dilakukan. Di Indonesia, agama dan budaya memang berjalan beriringan. Dalam budaya ada nilai-nilai keagamaan, begitu juga sebaliknya.
Sebagai pendidik, kami sering membahas nilai-nilai keagamaan dan sosial budaya di sekolah tempat kami mengajar. Bahkan, kami memiliki kelompok-kelompok diskusi kecil yang secara rutin melakukan kegiatan. Kegiatan ini kami namakan "Reading time."
Dalam kegiatan ini, kami membaca, mengkaji, saling berbagi informasi tentang sebuah topik yang dibahas. Setiap individu dalam kelompok turut memberikan kontribusi pemikirannya secara bergiliran. Kegiatan ini dilakukan dengan santai sambil minum secangkir teh panas dan menikmati kebersamaan.
Inilah budaya yang kami bangun. Budaya membaca yang kami integrasikan dengan belajar agama. Meski kami bukan orang-orang yang ahli agama, tetapi paling tidak kami membudayakan belajar agama yang dilakukan berkesinambungan.Â
Harapannya, kami akan menjadi individu-individu yang cinta ilmu, yang mau terus belajar kapanpun, dimanapun, dan dalam kondisi apapun.
Entah direncanakan atau tidak, topik yang kita bahas minggu ini adalah tentang introspeksi. Sebuah topik yang kami ambil dari majalah sains, budaya, dan spiritualitas. Majalah yang memang sudah bertahun-tahun memberikan nutrisi ilmu pengetahuan kepada kami.
Jika kita renungi, topik ini sangat relevan dengan momen datangnya peringatan tahun baru Islam beberapa hari kemudiannya. Seolah menambah benang merahnya, reading time minggu ini adalah reading time pertama kami di tahun ajaran baru ini.
Ya, awal tahun ajaran baru dan awal tahun baru, dua momen yang menunjukkan waktunya kita melakukan introspeksi. Dalam agama kita biasa menyebutnya muhasabah. Dalam judul artikel yang kita diskusikan kata introspeksi diikuti dengan tanda kurung. Dalam tanda kurung tertulis frasa "Mengkritik diri."
Kata mengkritik menarik untuk kita bahas bersama. "Jangan mengkritik jika tak menawarkan solusi." Kata ini sering kita dengar ketika kita berinteraksi dalam kehidupan sosial kita.Â
Mengkritik memang identik dengan sebuah permasalahan yang perlu dicarikan jalan keluarnya. Dengan adanya kritik diharapkan akan menghadirkan solusi yang terbaik akan permasalahan yang dihadapi.
Pertanyaannya, apakah tidak boleh mengkritik tanpa menawarkan solusi? Sesempit pemahaman saya, mengkritik adalah awal dibukanya ruang diskusi bersama untuk mencarikan sebuah solusi, bukan sekadar ruang menawarkan solusi.Â