"Selamat Hari Raya Idul Adha," sebuah pesan whatsapp singkat kuterima pagi ini. Pesan singkat yang kubaca sambil mendengarkan sayup-sayup gema takbir dari masjid dekat rumah. Bukan pesan singkatnya yang penting, tetapi sosok sang pemberi pesan itu.
Dari history chat, terlihat kami hanya saling berpesan di saat hari raya. Pesan klise yang berisi ucapan dan doa di hari raya. Mirisnya, terkadang pesan itupun hanya pesan hasil copy paste dari pesan orang lain yang masuk sebelumnya. Terkadang diri ini terlalu malas untuk sekedar membuat ucapan hari raya buatan sendiri.
Sosok pemberi pesan adalah sahabat lama yang mungkin hampir saja terlupakan. Jika tidak ada hari raya, mungkin kami tidak saling bertegur sapa. Pada hari raya ini baru terasa betapa pentingnya arti seorang sahabat dan menjaga silaturahmi antar sesama.
Hari raya Idul Adha memiliki makna berbeda dalam konteks menjaga silaturahmi. Ibadah kurban, bukan hanya memiliki dimensi habluminallah, tetapi juga habluminannas yang sangat kental. Kurban yang disembelih dan dagingnya yang didistribusikan bisa menjadi wasilah silaturahmi antar sesama.Â
Setengah atau sekilo daging yang dibagikan mungkin tak besar jumlahnya. Jika dimasak dijadikan sop daging, dalam satu dua hari sudah habis tak tersisa. Bahkan, ada sebagian yang menjadikannya sate. Dalam hitungan jam, sate daging kurban sudah habis disantap.
Ya, meskipun jumlahnya tak besar secara kuantitas, tetapi secara kualitas daging kurban bisa memiliki dampak yang sangat besar. Silaturahmi antar sesama sebagai bentuk kualitas ibadah kurban memiliki dampak yang terkadang tak terpikirkan dan bisa diperkirakan.
Tak sedikit yang dengan wasilah pembagian daging kurban terbentuk hubungan kedekatan antar sesama. Hubungan kedekatan yang bisa terus terjalin dan bisa menjadi wasilah hal-hal lain yang lebih besar. Kedekatan yang bisa membentuk sesuatu yang lebih bermanfaat dan berdampak besar demi kemaslahatan masyarakat.
Selain itu, daging kurban juga bisa menjadi wasilah silaturahmi bagi mereka yang berkemampuan kepada mereka yang kekurangan. Bagi mereka yang kekurangan, mendapat daging kurban adalah kenikmatan yang terkira nilainya. Bagi mereka, mungkin hanya di hari raya Idul Adha ini bisa merasakan menyantap daging.Â
Bagi kita saja yang memiliki kemampuan membeli daging, memakan daging sudah menjadi sesuatu yang istimewa, apalagi bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan. Coba kita bayangkan, betapa berharganya daging kurban yang dibagikan kepada mereka.
Di sisi lain, silaturahmi juga bisa bermakna doa. Salah seorang sahabat pernah memberikan hadiah sebuah sajadah kepadaku ketika kami harus berpisah. Pesannya kala itu agar aku selalu mengingatnya di dalam doa ketika aku bersimpuh di atas sajadah pemberiannya.
Silaturahmi memang tidak mesti selalu terjalin dengan bertemu secara fisik atau saling bersapa dan berbalas pesan melalui media sosial. Silaturahmi yang sejati adalah ketika di keheningan malam, kita bersimpuh dan saling memanjatkan doa yang terbaik dengan penuh keikhlasan dan ketulusan.
Siapa yang pernah tahu, jika kemudahan, kelancaran, keberhasilan, dan kesuksesan kita dalam kehidupan adalah berkat peran doa tulus dan ikhlas dari orang-orang yang pernah kita kenal, yang mungkin kita tak mengingatnya atau tak bersilaturahmi dengannya lagi?
Alhasil, pesan dari sahabat yang kuterima di pagi hari raya Idul Adha ini mengingatkanku tentang pentingnya silaturahmi dan saling mendoakan. Terasa bersalah diri ini yang terkadang masih jarang bersilaturahmi dengan orang-orang baik yang pernah hadir dalam kehidupan kita. Jangankan silaturahmi secara fisik, bahkan terkadang lisan ini masih terlalu berat untuk sekedar memanjatkan doa baginya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H