Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Lisan, Tangan, dan Hijrah

14 April 2022   20:22 Diperbarui: 14 April 2022   20:33 957
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ramadan hari kedua belas. Mari kita lanjutkan pembahasan Kitab Shahih Bukhari. Kita masih membahas bab tentang iman. Berikut teks haditsnya:

Dari Abdullah bin 'Amru dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bersabda: "Seorang muslim adalah orang yang Kaum Muslimin selamat dari lisan dan tangannya, dan seorang Muhajir adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah (HR. Bukhari).

Sahabat yang meriwayatkan hadits ini bernama Abdullah bin Amr bin Ash. Beliau sahanat yang menjadi gubernur pertama Mesir. Beliau juga merawikan hadits yang sangat banyak.

Hadits ini mengatakan bahwa seorang muslim tidak sempurna keislamannya, jika kemudian muslim yang lain tidak selamat dari lisan dan tangannya. 

Artinya, seorang muslim ketika berinteraksi dengan muslim yang lain harus menjaga ucapan dan perbuatannya dari menyakiti saudaranya.

Dalam hadits, lisan didahului. Mengapa? karena lisan memang sangat penting. Lisan terlihat sepele, tetapi lisan bisa menentukan nasib seseorang, selamat atau tidaknya seseorang. 

Maka ada pepatah dalam bahasa Arab berbunyi, "Selamatnya seseorang tergantung dari lisannya yang terjaga." 

Dalam bahasa Indonesia kita menyebutnya, "Mulutmu, harimaumu." Di era medsos, ungkapan tersebut berubah menjadi, "Statusmu, harimaumu."

Banyak kasus sekarang ini, dimana status seseorang di media sosial bisa membawanya ke penjara.

Terkait hal ini, Al-Quran telah memberi petunjuk jauh hari sebelumnya. Dalam daftar isi perjanjian Allah SWT dengan Bani Israil, salah satunya Allah SWT menyatakan bertutur katalah yang baik kepada manusia (QS Al-Baqarah:83).

Mengapa kita harus bertutur kata yang baik? Jawabannya karena jika tutur kata kita buruk, akhirnya bisa menimbulkan keruhnya hati seseorang, yang berakibat pada permusuhan. Inilah yang ditunggu setan (QS Al-Isra: 53).

Dalam hadits yang lain, Rasulullah SAW menyampaikan indikator keimanan seseorang. Disampaikan bahwa barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, hendaklah dia berbicara yang baik atau diam.

Terkait ini ada sebuah kisah di zaman Rasulullah SAW. Dikisahkan bahwa ketika Rasulullah SAW sedang berjalan dengan sahabatnya Abu Bakar As siddiq, mereka bertemu dengan seorang badui. Orang badui ini sedang marah-marah. 

Rasulullah SAW dan sahabat Abu Bakar diam tak meladeni. Namun, karena sahabat Abu Bakar tak tahan lagi, akhirnya sahabat Abu Bakar meladeni. 

Lalu, Rasulullah meninggalkan mereka. Sahabat Abu Bakar mengejar Rasulullah SAW. Ketika berhasil sampai, sahabat Abu Bakar bertanya, " Mengapa engkau meninggaliku, wahai Rasul?"

Rasulullah SAW menjawab, "Tadi ketika kamu sabar, kita sabar, mendengarkan omongan orang badui, yang duduk di sampingmu adalah malaikat. Begitu kamu meladeni dan mulai emosi, maka berbalik setan yang ada di sampingmu. Saya tak ingin dekat dengan setan, makanya saya pergi meniggalkanmu."

Begitulah tarbiyah Rasul. Beliau berpegang kepada Al-Quran. 

Al-Quran juga mengatur hal-hal yang perlu dihindari di dalam pola komunikasi kita sesama muslim. Ada enam hal yang perlu diperhatikan (QS Al-Hujurat: 11-12):

Pertama, jangan mengolok karena tidak suka, boleh jadi yang diolok lebih baik dari yang mengolok.

Kedua, jangan mencela sesuatu yang kurang. Di dunia maya, para netizen sering melampaui batas dalam mencela.

Ketiga, jangan memanggil dengan panggilan dengan gelar yang buruk. Gelar yang buruk adalah gelar yang tidak disukai.

Keempat, jangan berprasangka buruk (suuzan), meskipun tidak semua prasangka buruk itu dilarang. Ada suuzan yang boleh, bahkan harus. 

Misalnya, jika ada tamu yang tidak dikenal,maka kita perlu suuzan. Begitu juga ketika mau menerima calon menantu, dibolehkan suuzan dulu untuk memastikan si calon, hingga kita Benar-benar meyakini kebaiakannya. 

Ketika kita belajar hadits begitu juga. Kita harus suuzan dulu dengan perawi hadits. 

Kelima, jangan mencari-cari kesalahan seseorang. Setiap orang pasti memiliki kesalahan.

Namun, jika kesalahannya itu tidak merugikan orang lain, maka kita hanya perlu mengingatkan dan menasehati. 

Keenam, jangan ghibah. Artinya, menggunjingkan aib orang yang tidak ia sukai.

Ada ghibah yang diperbolehkan. Misalnya, jika orang berada di pengadilan sebagai saksi, maka diperbolehkan mengatakan aib seseorang. 

Contoh lain adalah ketika kita meminta fatwa, maka membicarakan aib yamg terkait fatwa diperbolehkan.

Selain itu, dalam menegakkan amar ma'ruf nahi anil munkar, ghibah juga diperbolehkan. Contohnya adalah aib yang dibuka dalam Al-Quran.

Sesuatu yang remeh juga bisa menjadi dosa besar. Misalnya tentang penyebaran berita bohong atau fitnah. Buruknya hal ini diisyaratkan di dalam Al-Quran (QS: An-Nur: 15).

Maka ketika ada berita buruk yang disebarkan, ada dua kemungkinan. Jika berita benar, maka masuk kategori menyebarkan aib. Jika salah, maka masuk kategori menyebarkan kebohongan.

Demikianlah pembahasan kandungan pertama hadits ini. Pada kandungan keduanya, hadits ini membahas tentang hijrah. 

Sejak peristiwa fathu makkah, hijrah dimaknai berbeda. Muhajir yaitu adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah subhanahu wa ta'ala.

Kita sering mendengar ada artis-artis yang melakukan hijrah. Mungkin definisi hijrah yang dimaksud adalah seperti yang disebutkan di hadits ini.

Hal itu adalah hal baik, selama hijrahnya tidak membuatnya eksklusif. Maksudnya, hanya mau mengikuti satu kelompok yang diyakini saja. 

Sejatinya, Islam itu agama yang universal, yang mengajarkan nilai-nilai universal, dan terbuka bagi setiap kelompok dan golongan.

Demikian pembahasan hadits hari ini. Kita akan melanjutkan pembahasan besok hari.

* Refleksi Kajian Ramadan Masjid Inti Iman

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun