Beberapa hari terakhir ini, saya banyak mendengar kata "Perubahan". Di kolom yang saya baca, di webinar, dan di ceramah agama yang saya ikuti banyak yang mengambil tema perubahan. Ada yang membicarakan perubahan suasana, perubahan pola, dan juga perubahan pada diri.
Bulan Ramadan dan setelah Ramadan memang identik dengan perubahan. Meskipun Ramadan sudah seminggu lebih terlewati, momen perubahan itu masih sangat kita rasakan dampaknya. Ditambah lagi perubahan yang terjadi setelahnya, membuat kita tak bisa lepas dari perubahan.
Perubahan Ramadan dan Lebaran
Yang paling terasa adalah perubahan pola makan. Seperti halnya di awal Ramadan dimana pola makan kita berubah drastis, sehabis Ramadan juga tak beda.Â
Perubahan pola makan seolah menjadi siklus tahunan yang berubah di bulan Ramadan, kemudian kembali ke pola lama setelah Ramadan usai.
Yang berbahaya adalah ketika kita melakukan balas dendam. Makanan yang kita inginkan dan tak sempat kita makan ketika puasa, sekarang bisa kita cicipi semua.Â
Dari mulai makanan berlemak, gorengan, sampai kue manisan semua kita makan. Sampai perut seolah tak berhenti bekerja.
Jika hal ini tak terkontrol bisa sangat membahayakan kesehatan. Level kolesterol, gula darah, dan lemak dalam tubuh semuanya bisa naik signifikan.Â
Akibatnya, kesehatan tubuh menjadi menurun. Ujung-ujungnya harus bertemu dokter untuk berkonsultasi.
Perubahan juga bisa kita amati pada momen hari raya idul fitri, hari lebaran yang selalu membawa kesan kebahagiaan.Â
Setiap kita mudik, ada saja yang berubah. Yang pasti, keponakan bertambah banyak, bahkan beberapa diantaranya sudah beranjak dewasa, tanpa kita sadari. Yang paling terasa, orangtua kita yang setiap lebaran semakin terlihat menua.
Bukan hanya manusianya yang berubah, suasana lebarannya pun ikut berubah. Dulu, ketika gadget belum merajalela, suasana lebaran begitu terasa.Â
Kita berkumpul bersama saudara, bersama teman, berkeliling dari rumah ke rumah sambil bercerita, bercanda ria menikmati suasana lebaran dengan berbagai macam kue khasnya.
Kini, kebanyakan kita lebih senang duduk di rumah saja sambil memegang gadget, berselancar di dunia maya, dan bersosial media.Â
Tak ada lagi kehangatan dalam kebersamaan kita bersama keluarga dan saudara. Momen kebersamaan hanya terasa singkat, yaitu ketika berfoto bersama sambil berpose yang tujuannya juga tak lepas dari sosial media.
Ditambah lagi adanya pandemi COVID-19 dua tahun terakhir ini, lebaran makin terasa hambar. Kita tak bisa kemana-mana, muka tertutup masker, jarak pun dibatasi, bersalaman saja tak bersentuhan tangan.
Perubahan COVID-19
Sebenarnya, perubahan memang sangat erat hubungannya dengan pandemi COVID-19. Pandemi COVID-19 itu sendiri yang mengajarkan kita perubahan, bukan? Perubahan pola hidup selama pandemi yang dipaksakan. Mau tak mau kita terpaksa harus membiasakan diri dengan perubahan itu.
Setahun belakangan ini, kita sudah terbiasa dengan perubahan, transformasi, dan adaptasi. Selama kita melawan pandemi COVID-19 ini sudah begitu banyak perubahan yang kita lakukan. Perubahan yang tidak ada satu orangpun menginginkannya.
Ya, perubahan yang kita lakukan di masa pandemi COVID-19 ini memang berbeda dengan perubahan yang kita rasakan setelah Ramadan dan perubahan di hari lebaran. Perubahan di masa pandemi COVID-19 ini adalah perubahan yang secara sadar tidak kita inginkan.Â
Oleh karenanya, perubahan di masa pandemi COVID-19 selalu diikuti dengan harapan bahwa kita akan bisa keluar dari kondisi ini dan kembali ke keadaan sebelumnya, kembali ke kehidupan normal lagi seperti sedia kala.
Esensi Perubahan
Sejatinya, esensi dari perubahan memang bukan untuk kembali ke masa sebelumnya. Apalagi jika perubahan yang dilakukan adalah perubahan menuju ke arah perbaikan.
Sejatinya, perubahan ke arah perbaikan harus kita jaga konsistensinya untuk terus menjadi lebih baik. Jangan sampai kita kembali ke masa dimana belum terjadi perbaikan.
Bukankah ini salah satu inti dari hikmah puasa Ramadan? Kata orang, ketika kita puasa, maka puasa kita itu harus seperti puasa ulat, bukan puasa ular. Sepintas, puasa ulat dan ular terlihat sama, tetapi sebenarnya sangat berbeda.
Ulat berpuasa dalam rangka bermetamorfosis menjadi kupu-kupu yang indah. Ulat merubah dirinya menjadi lebih baik. Ulat bermetamorfosis untuk menjadi bentuk yang lebih indah dipandang mata.
Sebaliknya, ular berpuasa hanya untuk menggantikan kulitnya. Ular akan tetap menjadi ular. Ular akan tetap menyeramkan walaupun sudah berganti kulitnya. Ular akan tetap siap menyerang mangsa yang ada di depannya.
Bagi manusia yang berpuasa, kita harus mencontoh ulat. Ketika kita menyelesaikan puasa, seharusnya kita menjadi manusia yang lebih baik layaknya manusia yang kembali kepada fitrahnya. Suci, bersih, bak bayi yang baru saja lahir dari rahim ibunya.
Sebuah Refleksi
Ya, apapun bentuknya, perubahan memang seharusnya membawa perbaikan, bukan justru perubahan ke arah yang lebih buruk. Perubahan seharusnya bisa membawa semangat baru. Perubahan seharusnya bisa mengajarkan kita bagaimana memperbaharui diri kita.
Perubahan menunjukkan adanya pergerakan. Pergerakan yang akan selalu menghadirkan pembaharuan ke arah perbaikan. Seperti halnya bergeraknya air yang membuatnya menjadi air yang suci dan mensucikan.
Sekarang, setelah satu bulan kita berpuasa, mari kita berkaca dan melihat diri kita. Apakah puasa yang kita jalani telah menjadi agen perubahan bagi diri kita? Perubahan apakah yang telah kita lakukan setelah kita merayakan lebaran?
Alhasil, perubahan ke arah yang baik memang seharusnya terjadi pada diri kita setelah Ramadan usai. Lebaran seharusnya bisa menjadi momen perubahan itu.Â
Tak perlu mengharapkan perubahan besar. Sedikit saja perubahan baik yang kita lakukan terasa sudah mencukupi. Syaratnya, ada kesadaran dan konsistensi kita dalam menjaga perubahan tersebut di dalam kehidupan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H