Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Presiden Keceplosan Mengatakan Benci

7 Maret 2021   08:26 Diperbarui: 7 Maret 2021   08:28 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi (kompas.com)

Misalnya, presiden semestinya mengatakan kalimat seperti, "Tolong, jangan salah pahami..." atau "Inti yang saya ingin saya sampaikan adalah..." atau "Maksud perkataan saya adalah..." mengikuti diksi benci yang diucapkannya.

Sayangnya, kalimat-kalimat tersebut tidak keluar dalam pidato presiden. Justru presiden lebih mengenaskan lagi pernyataannya dengan mengulangi kalimat yang menggunakan diksi benci tersebut.

Entah apa yang dipikirkan Pak Presiden waktu itu. Mungkin saja beliau tidak menyadari konsekuensi dari kata-katanya itu, atau mungkin beliau menganggap hal tersebut adalah sesuatu yang biasa. Yang jelas setelah pernyataan itu, publik menyoroti dan membicarakannya.

Konsekuensi Pernyataan Presiden

Menurut para pengamat politik dan ekonomi, pernyataan tersebut tidak seharusnya keluar dari seorang kepala negara. Pernyataan tersebut bisa saja sangat berbahaya akibatnya bagi negara. Pernyataan tersebut bisa saja dimaknai sebagai acuan kebijakan negara yang bisa membuat negara kita dikucilkan dari perdagangan dunia. Konsekuensi lebih jauh bisa saja terjadi boikot perdagangan bagi negara kita.

Apakah hal itu mungkin terjadi? Menurut saya mungkin saja terjadi. Argumennya adalah ada dimensi proteksionisme, ada dimensi sistem perdagangan bebas, ada dimensi global supply chain, bahkan ada dimensi chauvinisme yang tersirat di dalam pernyataan benci presiden tersebut. Akibatnya, pernyataan ini akan memberikan reputasi buruk bagi negara kita.

Dari dimensi moral juga ada makna yang tersirat di dalamnya. Mengajak masyarakat membenci juga bukan merupakan hal yang bijak dilakukan secara moral. Diksi benci yang digunakan berkonotasi negatif dalam kebahasaan. Diksi benci bisa saja memberikan efek yang reaktif pada masyarakat. Hal ini bisa mengakibatkan dampak buruk yang tidak diinginkan.

Untungnya, pernyataan presiden ini diklarifikasi oleh Menteri Perdagangan Muhammad Luthfi. Mendag mengatakan bahwa dalam konteks ini yang salah adalah dirinya karena telah memberikan laporan yang menyebabkan kekecewaan mendalam presiden terhadap produk asing sesaat sebelum acara dimulai.

Sebuah Refleksi

Sebenarnya, narasi yang disampaikan presiden dalam pidato untuk memberikan semangat kepada masyarakat untuk bangga dan cinta produk dalam negeri sudah sangat baik. Namun, keceplosan yang dilakukan presiden dengan diksi benci mengusik sebagian masyarakat. 

Bisa saja kita menganggap itu sebagai hal biasa atau mungkin juga kita berpendapat itu sebagai sesuatu yang tidak elok untuk diucapkan. Apalagi yang mengucapkan adalah seorang kepala negara yang notabenenya menjadi panutan, teladan, dan influencer terkuat di masyarakat. 

Sejatinya, bangga dan cinta tidak harus membenci, karena benci akan selalu membawa kepada permusuhan. Mungkin kita seharusnya memahami diksi benci yang dikatakan presiden maksudnya adalah tidak suka. Rasa tidak suka yang tidak disertai kebencian buta. Rasa tidak suka yang seharusnya disertai oleh semangat untuk menciptakan produk dalam negeri yang lebih berkualitas, kompetitif, dan memiliki branding.

Alhasil, mari kita fokus untuk memperbaiki jalan berpikir dan cara bertindak kita. Jika memang ada kesalahan, seharusnya kita bisa memperbaikinya sehingga bisa memberikan kemaslahatan bagi kita semua. Semangat inilah yang perlu kita kedepankan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun