Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Perpres Investasi Miras Dicabut, Ini Argumennya

4 Maret 2021   07:39 Diperbarui: 4 Maret 2021   07:52 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi minuman keras China yang dikenal dengan nama baijiu atau alkohol putih.(AFP / LIU JIN via kompas.com)

"Bersama ini saya sampaikan, saya putuskan lampiran Perpres terkait pembukaan investasi baru dalam industri minuman keras yang mengandung alkohol saya nyatakan dicabut," tegas Jokowi di kanal Youtube Sekretariat Presiden kemarin.

Hal ini seolah menjadi antiklimaks perdebatan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang berisi aturan investasi minuman keras (miras).

Peraturan terkait miras memang sangat sensitif di masyarakat. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim, pemerintah seharusnya lebih jeli menyikapi isu miras yang diharamkan dalam agama Islam. Meskipun Indonesia bukan negara Islam, tetapi kedudukan agama Islam dan organisasi masyarakat Islam sangat berpengaruh di masyarakat.

Miras, Budaya dan Kearifan Lokal

Jika kita perhatikan perpres terkait miras yang dipermasalahkan ini, maka kita akan melihat ada pertautan dimensi budaya dan kearifan lokal di dalamnya. Sejak nenek moyang kita dulu, secara turun temurun masyarakat di negara kita sangat menjunjung tinggi budaya dan kearifan lokal yang ada di daerahnya masing-masing.

Seperti kita ketahui, ada beberapa provinsi di Indonesia yang memiliki populasi warganya mayoritas tidak beragama Islam. Pada daerah tersebut, miras mungkin tidak menjadi komoditi yang tabu untuk dikonsumsi dan diperjualbelikan. Bahkan mungkin, ada acara adat dan keagamaan yang menggunakannya.

Dilihat dari sisi ini, keluarnya perpres miras ini mungkin bisa dibenarkan. Sesuatu yang tidak bertentangan dengan budaya dan kearifan lokal wajar saja untuk dilakukan. Selama masyarakat lokal tidak menentang, hal ini mungkin bisa dilaksanakan.

Di sisi lain, dimensi budaya dan kearifan lokal berpotensi untuk menjadi polemik di masyarakat. Akan menjadi sesuatu yang sangat sulit untuk menyamakan persepsi masyarakat yang beragam dan memiliki berbagai macam budaya dan kearifan lokal. 

Persoalan ini mirip dengan polemik keluarnya SKB tiga menteri terkait atribut dan seragam sekolah. Terlihat ada kontradiksi pada keduanya. Yang satu mengabaikan budaya dan kearifan lokal, yang lainnya justru menjadikannya sebagai dasar. Uniknya, keduanya menjadi polemik di masyarakat.

Dari sini kita dapat memahami bahwa sesuatu yang terkait budaya dan kearifan lokal memang tidak semestinya dilegalkan dengan mekanisme perundangan formal yang bersifat mengikat dan nasional. Jika mau jujur, budaya dan kearifan lokal akan berjalan dengan sendirinya di kehidupan masyarakat. Kekuatan dalam masyarakat sendiri sudah cukup untuk mengatur dan mengontrolnya, tanpa perlu lagi diundangkan.

Miras dan Agama

Menurut yang disampaikan presiden, alasan dibatalkannya perpres ini adalah karena adanya masukan dari ulama, organisasi masyarakat, dan tokoh agama baik di daerah maupun di pusat. 

Sebenarnya, ada sebagian masyarakat yang beranggapan bahwa perpres ini menunjukkan adanya toleransi. Mereka beranggapan perpres ini dibuat atas dasar memperhatikan semua agama, tidak hanya mengedepankan agama yang mayoritas. 

Karena sejatinya, negara kita bukan negara agama. Dasar negara kita adalah pancasila yang mengakui keberagaman beragama. Nilai dalam pancasila juga yang mengharuskan adanya toleransi dalam kehidupan bernegara.

Sebagian masyarakat lagi beranggapan justru perpres ini tidak mengindahkan toleransi. Menurut mereka toleransi itu berhubungan dengan batasan penambahan, pengurangan, atau penyimpangan yang masih bisa diterima. Sudah pastinya batasan yang bisa diterima oleh seluruh pihak.

Dalam kasus ini, seharusnya toleransi tidak bisa dijadikan dasar melegalkan perpres miras. Agama Islam, sudah sangat jelas mengharamkan umatnya mengonsumsi miras. Maka sebagai bentuk toleransi seharusnya hal ini tidak semestinya dilegalkan, terlepas dari realita bahwa agama Islam sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia.

Miras dan Politik

Tak bisa dipungkiri, setiap keputusan yang diambil pemerintah memiliki nilai politik di dalamnya. Mau tak mau, suka tak suka, efek dari sebuah kebijakan dan aturan pastinya akan menyebabkan eskalasi dan diskursus politik publik yang hangat untuk diperdebatkan.

Terkait perpres miras ini, efek positif dan negatif dari sisi perhitungan politik bagi pemerintahan Jokowi sama kuatnya. Kebijakan ini bisa berdampak baik, bisa juga berdampak buruk bagi popularitas pemerintah dan koalisi yang ada di dalamnya.

Hal ini bisa berdampak buruk jika masyarakat merasa bahwa pemerintah kurang jeli dalam mengambil keputusan. Pemerintah mungkin saja dianggap terlalu mengedepankan investasi daripada kemaslahatan masyarakat. 

Apalagi, ada sebagian masyarakat yang juga mungkin berpikir bahwa investasi itu kebanyakan tidak pro masyarakat. Investasi hanya mementingkan oligarki yang menguasai pemerintahan. Yang kaya akan semakin kaya, yang miskin akan semakin miskin.

Meskipun pada akhirnya keputusan ini dicabut, opini buruk masyarakat terhadap pemerintah sudah cenderung terbentuk dengan keluarnya perpres ini.

Di sisi lain, perpres ini juga bisa berdampak baik. Keputusan cepat pemerintah untuk mencabut perpres ini menunjukkan bahwa pemerintah peduli kepada masyarakat. Kritik yang dilakukan masyarakat, baik secara individu maupun melalui organisasi terbukti efektif. Selama kritik itu rasional, pemerintah ternyata berani untuk mempertimbangkannya dan mengambil langkah perbaikan jika diperlukan. 

Kita tahu diskursus kritik mengkritik ini sempat membuat eskalasi politik di negara kita. Persoalan ini ramai dibicarakan setelah keluar pernyataan presiden Jokowi yang minta untuk di kritik beberapa waktu lalu. Ada pro dan kontra kala itu. Perpres ini bisa dijadikan dalih pemerintah yang menunjukkan bahwa pemerintah tidak anti kritik.

Miras dan Moral Kemanusiaan

Sebenarnya, dasar yang paling sesuai untuk memahami perpres ini adalah nilai-nilai moral kemanusiaan. Secara moral kemanusiaan peraturan ini terasa begitu janggal. Mengapa?

Pertama, tak bisa dipungkiri bahaya miras dalam kehidupan begitu besar. Banyak hal-hal buruk yang bisa terjadi karena disebabkan oleh miras. Jika seseorang kebablasan dalam mengonsumsinya, maka miras bisa menyebabkan seseorang mabuk. Seorang yang mabuk tidak bisa mengontrol sikap dan perilakunya. Banyak kejahatan yang terjadi di masyarakat karena pelakunya berada dalam keadaan mabuk.

Kedua, miras yang dikonsumsi secara berlebihan akan membuat seseorang kecanduan. Jika sudah kecanduan, seseorang akan melakukan apapun demi untuk mendapatkannya. Tak peduli dia harus melanggar hukum atau norma-norma yang ada di masyarakat.

Ketiga, adanya industri miras yang dilegalkan akan membuat miras lebih mudah didapat dan peredarannya pun akan semakin luas. Yang patut dikhawatirkan adalah ketika miras ini sudah menjangkau anak-anak remaja usia sekolah yang notabenenya sangat rentan untuk menyalahgunakannya.

Bagi remaja, miras ini bisa menjadi virus yang berbahaya. Virus yang bisa menyebar dengan cepatnya merusak masa depan generasi muda. Kebanyakan remaja yang belum bisa berpikir rasional, tidak akan menyadari bahaya besar yang mungkin akan menimpanya di kemudian hari ketika mulai mengenal miras.

Keempat, miras juga bisa sangat merugikan masyarakat dari sisi kesehatan. Mengonsumsi miras akan bisa lebih mudah merusak organ tubuh manusia. Angka kematian yang disebabkan dari konsumsi miras juga tidak bisa dianggap sepele. Ditambah lagi dengan bahaya kesehatan mental yang juga tak kalah besar efeknya dalam kehidupan.

Sebuah Refleksi

Keputusan dicabutnya perpres miras oleh presiden Jokowi patut untuk diapresiasi. Perdebatan tentang budaya, kearifan lokal, toleransi, agama, dan politik terasa tak bermakna jika disandingkan dengan nilai moral dan kemanusiaan. 

Ya, nilai moral kemanusiaan semestinya menjadi dasar utama dalam mengambil sebuah kebijakan di negara kita. Keberagaman negara kita menuntut kita untuk mengedepankannya. Hanya nilai moral kemanusiaan yang bisa menyatukan negara kita tanpa menuai polemik berkepanjangan.

Alhasil, dalam agama Islam, sesuatu yang keluar dari nilai moral kemanusiaan disebut dengan kemungkaran. Nabi bersabda, "Barang siapa di antara kamu melihat kemungkaran, hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika tidak mampu juga, hendaklah mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman."

Hal inilah yang coba untuk dilakukan masyarakat. Untuk kali ini, usaha terus menerus yang dilakukan masyarakat, baik dengan tangan, lisan, maupun hati, bisa berbuah manis dengan dicabutnya perpres miras. Akankah ini menjadi tanda kebangkitan nilai moral kemanusiaan di negara kita? Patut ditunggu kelanjutannya.

[Baca Juga: Memaknai Pernikahan Adik di Tengah Pandemi]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun